Search This Blog

Sunday 31 May 2009

Kapan Kita Sungguh-Sungguh Mensyukuri Nikmat Ini?

Kapan Kita Sungguh-Sungguh Mensyukuri Nikmat Ini?


Hanya-orang-orang yang tidak puas dengan nasibnya yang berkeinginan untuk bertukar nasib. Anehnya, kita tidak harus menjadi orang sengsara terlebih dahulu untuk memiliki keinginan itu. Bahkan, dalam keadaan 'serba enak' pun kita masih ingin bertukar nasib dengan orang lain yang kita anggap bernasib lebih baik. Persis seperti pepatah lama kita; "rumput tetangga terlihat lebih hijau....." Tetapi, seandainya memang kita berkesempatan untuk menukar nasib dengan orang lain; apakah benar kita akan menemukan kepuasan itu?

Disebuah stasiun TV swasta ada reality show yang bertajuk 'Tukar Nasib'. Orang kaya bertukar nasib dengan orang miskin. Keluarga kaya pindah ke rumah orang miskin, dan sebaliknya. Ternyata, tidak hanya anggota keluarga kaya saja yang 'tersiksa' dengan dunia barunya. Orang miskin yang 'berubah' kaya pun tidak senyaman yang mereka kira sebelumnya. Diluar acara TV, kita sering mendengar orang miskin yang mendambakan kekayaan. Itulah sebabnya, begitu mudahnya menarik minat orang untuk diajak menjadi kaya. Beragam kegiatan pun ditawarkan. Dari mulai arisan fiktif, jual beli barang 'tak berujud', atau email pemberitahuan menang lotere, hingga seminar untuk menjadi orang kaya. Nyaris semuanya laku keras, melebihi kacang goreng.

Siapa yang ingin kaya? Saya. Karena hingga saat ini, saya memang belum kaya. Bahkan tak jarang masih pusing memikirkan cara membayar tagihan dan berbagai kebutuhan rumah tangga. Siapa yang ingin kaya? Orang-orang yang kita anggap sudah kaya. Karena, mereka melihat banyak sekali orang yang lebih kaya dari dirinya. Siapa yang ingin kaya? Orang-orang yang sudah terbukti sangat kaya raya. Sebab, konon kekayaan tidak bisa membuat seseorang merasa cukup. Sehingga perburuan itu tidak memiliki garis finis.

Pergulatan semacam itu tidak hanya soal uang dan kekayaan, namun juga banyak hal lain semisal jabatan. Kita sering mengira bahwa jabatan tertentu lebih baik dari jabatan kita saat ini; terutama ketika kita lebih banyak melihat keuntungannya daripada tanggungjawab dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Kerinduan kita akan gaji tinggi, fasilitas menggiurkan, terus bonus segunung membuat diri kita yakin bahwa; kita harus menukar nasib ini. Perkara kita bisa menangani tugas dan tanggungjawab serta konsekuensinya, itu soal belakangan. Pokoknya, kita dapat dulu itu jabatan. Sewaktu jadi staf, kita mendambakan untuk menjadi manager. Setelah menjadi Manager, kita panas hati karena seorang kawan sudah menjadi Senior Manager. Setelah menjadi Senior Manager, kita tahu bahwa gengsi ini belum cukup kalau tidak menjadi Direktur. Setelah jadi Direktur, kita bersedia melakukan apapun untuk menjadi Presiden Direktur. Dan nanti, setelah menjadi Presiden Direktur, kita pasti memiliki kejaran-kejaran baru lainnya.

Tapi, bukankah kita memang harus memiliki visi dan ambisi semacam itu? Betul. Sebab tanpa keinginan seperti itu, kita tidak akan memiliki cukup tenaga untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Jika kita mampu meraihnya, mengapa tidak? Sebab, setiap orang berhak untuk mendapatkannya. Sehingga pengejaran impian semacam itu sah-sah saja. Namun, menjadi kurang pada tempatnya ketika kita terlampau berfokus kepada 'apa yang kita iginkan', bukan kepada 'apa yang sudah kita dapatkan'. Implikasinya, alih-alih menikmati semua pencapaian kita dengan sepenuh rasa syukur, kita malah terus-menerus merasa kurang ini dan kurang itu. Perasaan kurang akan berdampak positif, dalam konteks memotivasi diri untuk meraih pencapaian yang lebih tinggi. Namun, akan berdampak negatif jika kita kurang mensyukurinya.

Simaklah apa yang terjadi ketika kita lupa bahwa apa yang kita miliki saat ini adalah anugerah yang sangat besar. Betapapun lebih baiknya keadaan kita dibandingkan dengan orang lain, tetap saja kita merasa kurang beruntung. Jangan-jangan, sebenarnya kita ini tidak kekurangan apapun kecuali rasa syukur. Bahkan kadang kita lupa ketika bangun pagi, mendapati diri kita sehat walafiat. Padahal, bisa saja Tuhan menjadikan kepala kita pening sekali hingga tak mampu bangkit dari tempat tidur. Kadang kita lupa ketika mendapati kedua tangan dan kaki, mata dan telinga kita utuh sempurna. Padahal, bisa saja Tuhan mengambilnya kapan saja. Bahkan, kadang kita lupa bahwa hidup ini layak untuk disyukuri. Karena jika Tuhan menghendaki, bisa saja mengakhirinya kapan saja. Jadi, kapan ya kita akan sungguh-sungguh mensyukuri nikmat ini?


Catatan Kaki:
Semoga, Tuhan memberi kecukupan kepada kita. Baik kecukupan secara material untuk menjalani kehidupan, maupun kecukupan spiritual untuk mensyukuri semua anugerah ini.

.

__,_._,___

Saturday 23 May 2009

Benarkah Kita Hidup Dalam Serba Kekurangan?

 


Banyak sekali kekurangan dalam diri kita. Kurang mancung. Kurang putih. Kurang kaya. Kurang pintar. Dan beragam macam kurang-kurang lainnya. Oleh karena itu, kita tidak pernah kekurangan alasan untuk bersembunyi dibalik serba kekurangan yang kita miliki. Sampai-sampai, alasan yang kita kemukakan itu tidak lagi bisa diterima akal karena sama sekali tidak bermutu. Herannya, semakin hari kita semakin nyaman dengan beragam alasan itu. Seolah-olah kita sudah menjadi sahabat terbaik bagi para alasan dan enggan beranjak barang sedikit saja dari tempat persembunyian itu. Padahal, kita percaya bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Dan kita juga percaya bahwa dibalik ketidaksempurnaan itu; ada orang-orang yang bisa menghasilkan pencapaian tinggi. Tapi, mengapa bersembunyi dibalik kekurangan diri ini kok terasa begitu nikmat?

Akhir tahun lalu, saya mengikuti bowling fun game. Dengan modal keterampilan main bowling yang nol besar ini, saya berhasil memenangkan hadiah berupa 3 lembar voucher masing-masing bernilai seratus ribu rupiah. Jadi, pasti kemenangan itu merupakan 'keberuntungan seorang pemula'. Beberapa hari yang lalu, voucher itu 'ditemukan' kembali terselip dibuku catatan saya. Lalu, saya menggunakannya untuk mampir disebuah cafeshop. Sekedar nongkrong sejenak selepas mengikuti kelas fitness. Sekarang Anda sudah tahu bahwa saya berani masuk kesana gara-gara memiliki voucher itu; sehingga saya cukup mengeluarkan uang 15 ribu rupiah saja untuk makan berdua rada gaya. Kalau tidak ada voucher itu; saya tidak makan disitu, haha.

Ketika tengah menikmati ice blended vanilla dan smoked beef cake itu mata saya tertuju kepada sebuah meja dimana disana tengah bersantap siang sebuah keluarga terdiri dari Ayah, Ibu, dan dua anak yang lucu-lucu. Anak-anak sibuk bermain. Sang Ibu sibuk menyuapi mereka. Sedangkan sang Ayah terlihat asyik melayani pertanyaan-pertanyaan anak-anak sambil terus bekerja dengan lap-topnya. Sungguh, saya terkesan dengan lelaki seumuran saya itu. Entah mengapa, saya merasa ada 'aura' kuat yang terpancar dari dalam dirinya. Ketika itu saya merasa seolah tengah memandang seorang bintang dengan segenap profesionalisme dan kompetensi. Padahal, saya tidak mengenalnya.

Saya tidak berhenti mencuri pandang kearahnya. Seperti ketika remaja dulu mencuri pandang kearah gadis pujaan hati. Bedanya, dulu saya melakukan itu karena perasaan suka kepada kecantikan yang memukau. Sekarang, karena sebuah kekaguman. Diam-diam, dalam hati saya berbisik; ingin rasanya meniru orang itu.

Saya mengira bahwa kekaguman itu akan berhenti sampai disitu. Tetapi saya keliru seratus persen. Saya termangu ketika menyaksikan pemandangan lain sesaat setelah itu. Yaitu, ketika orang itu berubah posisi duduk dan serta merta saya menyadari bahwa ternyata orang itu memiliki keistimewaan lain yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Tahukah anda apa keistimewaan itu? Beliau memiliki satu kaki.

Sekarang saya jadi malu kepada diri sendiri. Dengan kesempurnaan fisik ini pun saya masih saja bersembunyi dibalik seribu satu alasan untuk membesar-besarkan kekurangan diri. Sehingga saya bisa dengan mudahnya menyerah. Lalu, memilih untuk bersikap pasif. Lalu menjadi orang yang tidak berbuat apa-apa secara produktif.

Betapa banyak orang yang diberi kesempurnaan penciptaan seperti kita, namun mempunyai mental yang lembek. Betapa banyak orang yang memiliki kelengkapan fisik seperti kita, namun setiap hari berkubang dengan keluh kesah. Padahal, betapa Tuhan telah memberi lebih banyak dari yang kita butuhkan; tapi, kita masih saja memenjarakan diri didalam kotak berlabel 'kurang'.

Saat ini, rasanya kok saya masih duduk dihadapan orang hebat di cafe itu. Dan saya masih merasakan semangatnya berputar-putar diatas kepala saya. Seolah dia berubah menjadi malaikat bersayap indah, lalu berkata; "Keluarlah dari tempat persembunyianmu. Karena, Tuhan telah memberimu segala yang engkau butuhkan, untuk menjalani hidupmu....."
 

Catatan Kaki:
Menyadari kekurangan diri bisa menghindarkan kita dari sifat sombong. Namun, terlampau membesar-besarkannya bisa melupakan kita akan betapa banyak nikmat yang sudah kita dapat. 

.

__,_._,___

Monday 18 May 2009

Sebenarnya Apa Sih Bakat Kita Ini?

 

Adakah orang yang meragukan keampuhan bakat sebagai modal dasar bagi seseorang untuk meraih kesuksesan? Kelihatannya tidak ada. Karena, kita percaya bahwa jika bisa mengoptimalkan bakat alias talenta kita, maka pastilah kita akan menjadi orang yang sukses. Persoalannya kemudian adalah, bagaimana kita mengidentifikasi dan mengenali apa sesungguhnya talenta kita ini? Bahkan, meskipun umur kita sudah tergolong dewasa, kita tidak benar-benar yakin bahwa kita sudah bekerja pada bidang yang sesuai dengan bakat yang kita miliki. Apakah anda juga merasakan hal sedemikian?

Salah satu hal menarik yang bisa kita saksikan dari kontes-kontes dijaman modern seperti American atau Indonesian Idol, Britain Got Talents, dan kontes serupa lainnya adalah; kita sering dikejutkan oleh orang-orang yang menyimpan bakat tersembunyi didalam dirinya selama berpuluh-puluh tahun. Selama itu, bakat mereka terkubur dalam balutan tubuh masing-masing. Dan tak sesaatpun terbangunkan hingga mereka mengikuti kontes itu.

Dalam salah satu tayangan kontes itu saya menyaksikan seorang lelaki berusia tiga puluhan. Dia mengatakan bahwa cita-citanya adalah untuk melakukan sesuatu yang menjadi alasan terbesar mengapa dia dilahirkan, yaitu; menyanyi. Namun selama ini dia tidak pernah melakukannya karena menurutnya; "saya selalu mempunyai masalah besar dengan kepercayaan diri dan keyakinan bahwa saya bisa tampil dengan baik". Dari wajah dan tatapan matanya, kita bisa segera tahu bahwa orang ini memang sangat malu dan minder.

Ketika naik keatas panggung menghadapi audiens dan Pak Simon Cowell beserta dua juri lainnya, dia kelihatan benar-benar gugup. "Apa yang akan kamu lakukan disini?" kata salah seorang juri. "Saya akan menyanyikan lagu opera...." katanya dengan nada getar. Semua penonton terdiam, besiap untuk memberikan simpati dan belas kasihan. Sedangkan semua juri mengernyitkan dahi, dan mempersilakan orang itu melakukan apa yang ingin dilakukannya dengan nada enggan.

Sesaat kemudian, musik opera mulai diputar membuat pengunjung semakin mengkhawatirkan nasib sang kontestan saat dikritik oleh juri nanti. Namun, ketika 'bunyi' pertama keluar dari suara vokal lelaki itu, semua pendengar terperangah. Bahkan, sang juri paling sangar sedunia itupun terkejut dan mulai menatap kearahnya dengan tatapan mata kekaguman. Mendengar suaranya yang tidak kalah dengan Luciano Pavarotti itu, pendengar yang terbius mulai menitikkan air mata. Lalu, mereka berdiri dan bertepuk tangan ketika nyanyian itu berakhir. Hingga acara selesaipun penampilannya masih menjadi pembicaraan dimana para juri merumpikannya sebagai salah satu penampilan paling mengejutkan dari kontestan yang sempat disepelekan.
Pada kesempatan lain, saya bertemu dengan salah seorang sahabat yang berpofesi sebagai pengelola radio. Orang ini telah sukses membawa banyak radio yang ditanganinya hingga menjadi bisnis yang menguntungkan dan bergengsi. Ketika saya bertanya; tantangan terberat apa yang pernah dihadapinya? Dia menyebutkan; 'pandangan masyarakat'. Maksudnya, orang-orang disekitarnya yang menganggap bahwa bekerja diradio bukanlah 'bekerja'. Sebab, masyarakat kita sering menganggap bekerja itu identik dengan dasi atau seragam bagus. Atau, memiliki kartu nama bertuliskan perusahaan semacam bank atau perusahaan lain yang memiliki nama besar. Diluar itu; nilai 'bekerja' menjadi berkurang.

Sampai disini, kita sudah mendiskusikan 2 rintangan terbesar yang sering kita hadapi ketika ingin mengoptimalkan bakat yang kita miliki. Pertama adalah rintangan dari dalam diri ketika kita dihambat oleh rasa percaya diri. Kita ragu jika apa yang bisa kita lakukan itu benar-benar bernilai. Dan kedua adalah hambatan dari luar diri kita, ketika kita harus berhadapan dengan stigma yang berlaku dimasyarakat. Mereka menilai rendah orang-orang yang memiliki profesi 'aneh' dan tidak sesuai dengan gambaran profesi yang kebanyakan orang definisikan.

Dan ternyata memang benar bahwa kedua hal itu sangat efektif dalam menggagalkan kita untuk sampai kepada pencapaian tertinggi yang sesunguhnya bisa kita raih. Faktanya, betapa seringnya kita merasa ragu apakah kita akan mendapatkan penghasilan yang memadai jika memilih untuk melakukan apa yang kita yakini sebagai bakat sesungguhnya yang kita miliki. Dan keraguan itu telah membuat kita memilih untuk bekerja pada suatu profesi yang sesungguhnya bisa dikerjakan tanpa bakat khusus. Maka jadilah kita orang yang bekerja pada bidang yang tidak benar-benar kita sukai. Dan kita membiarkan bakat itu terkubur sia-sia.

Betapa seringnya kita merasa takut masyarakat tidak akan bersedia menerima apa yang kita lakukan sesuai dengan bakat kita itu. Padahal, kita semuanya yakin bahwa ketika kita bisa memberi manfaat kepada lingkungan dan masyarakat, maka akan selalu ada tempat yang bersedia menerima kita dengan tangan terbuka. Mungkin, yang perlu kita lakukan adalah menemukan tempat yang tepat itu. Sebab, kita semuanya yakin bahwa setiap manusia dilahirkan dengan sebuah misi yang Tuhan berikan; yaitu berkontribusi kepada dunianya. Dan ketika setiap orang memahami itu, maka mestinya tidak ada lagi kehawatiran yang menghambat seseorang untuk berfokus kepada bakat yang dimilikinya. Dan mendalami kegiatan dan pekerjaan sesuai dengan bakat itu. Sebab, ketika seseorang bekerja sesuai dengan bakatnya; bukan hanya akan melakukannya dengan gembira dan suka cita. Dia juga juga akan menghasilkan karya yang mengesankan. Sebab, salah satu alasan Tuhan memberi kita bakat yang unik dan berbeda-beda adalah; untuk saling memberi manfaat dengan sesama. Satu sama lain.

.

__,_._,___

Sunday 17 May 2009

Pertanda Apakah Kejemuan Terhadap Pekerjaan Itu?

 

Artikel: Pertanda Apakah Kejemuan Terhadap Pekerjaan Itu?

Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.

Jika tidak pernah merasa jemu dalam pekerjaan, mungkin kita belum cukup lama menjalaninya. Sebab, agak aneh juga jika hal-hal rutin yang kita lakukan dalam jangka panjang masih bersifat 'biasa-biasa' saja. Bukahkah kita merasa jemu jika hidup kita menjadi datar? Sebaliknya, 'percikan-percikan' kecil bisa memberi nuansa yang lebih berwarna bagi perjalanan karir kita. Jadi, jika suatu saat kelak menemui kejemuan; tidak perlu terlalu risau. Karena sesungguhnya hal itu merupakan pertanda yang mengirim sinyal supaya kita mendefinisikan ulang premis-premis hidup yang selama ini dipegang teguh.

Kadang-kadang kita keliru mengartikan kejemuan sebagai sinyal untuk berpindah. Sehingga kalau kita merasa jemu, hal pertama yang terpikirkan adalah; bagaimana menemukan pekerjaan baru? Padahal, dalam banyak situasi kita tidak benar-benar pindah kepada pekerjaan yang sungguh-sungguh baru. Melainkan sekedar kepada 'tempat' baru. Faktanya, kita pindah ke perusahaan lain untuk mengerjakan pekerjaan yang sama. Jika saya orang marketing di perusahaan A, saya pindah ke perusahaan B dengan fungsi sebagai tenaga marketing juga. Sebagai engineer handal diperusahaan C, saya pindah ke perusahaan D untuk menjadi engineer juga. Akuntan, pindah tempat untuk menjadi akuntan juga. Dan sebagainya. Hanya sedikit perusahaan yang mau menerima kita untuk melakukan sesuatu yang benar-benar 'baru' sehingga kita bisa mulai lagi dari nol besar.

Padahal tidak semua kejemuan terhadap pekerjaan bisa diobati dengan perpindahan. Boleh jadi yang sesungguhnya kita butuhkan adalah menantang diri sendiri untuk berkreasi. Membuat sesuatu yang baru dengan tugas kita sehari-hari. Sebut saja itu sebagai 'perpindahan micro', yaitu perpindahan dari mengerjakan sesuatu sebatas rutinitas menjadi 'tempat melahirkan' gagasan-gagasan baru. Dengan begitu, kita selalu memberi kesempatan kepada diri sendiri untuk 'melakukan hal-hal baru'. Sebab, hal baru bisa menjadi jawaban atas kejemuan. Dan lebih dari itu perusahaan tempat kita bekerja pun mendapatkan kegembiraan yang tiada tara. Sebab, ketika anda berubah dari karyawan yang tengah dilanda oleh kejemuan menjadi karyawan yang haus untuk melahirkan inovasi demi inovasi; maka perusahaan itu menjadi semakin tidak tertandingi. Bayangkan, jika semua karyawan diperusahaan menjadi seperti itu? Tidak terhingga dampak positif yang ditimbulkannya bukan?

Sekarang bayangkan lagi; jika anda bisa menjadi motor penggerak inovasi diperusahaan seperti itu. Kira-kira keuntungan apa yang bisa anda dapatkan? Pertama, anda terbebas dari kejemuan itu. Kedua, anda bisa menjadi role model bagi orang-orang yang anda pimpin dan rekan-rekan lain. Ketiga, anda bisa menjadi pilihan utama jika perusahaan harus memilih seseorang untuk diberi tanggungjawab yang lebih besar. Keempat, perusahaan tidak akan membiarkan anda pergi begitu saja. Kelima, halah banyak sekali keuntungan yang anda bisa dapat itu rupanya?

Sebaliknya, jika anda memilih untuk menjadi karyawan yang membiarkan diri terpenjara oleh kejemuan itu. Cepat atau lambat, kinerja anda akan menurun. Sehingga para pendatang baru akan mengambil alih pamor yang selama ini anda miliki. Dan ketika itu terjadi, sangat logis jika perusahaan menganggap anda sebagai masa lalu.

Jadi, situasi mana yang anda pilih?

.

__,_._,___