Search This Blog

Monday 17 May 2010

Cacatnya Wanita Penghuni Dua Surga

Dapet dari milis alumni yg subhanallah bagusnya ceritanya….

 

Hari ini jam 8:14

Dulu, saat masih kuliah S.1 di Jurusan Hadits, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo ia pernah ditawarkan dengan seorang mahasiswi oleh temannya yang telah menikah. Tapi saat itu ia menolak tawaran tersebut. Obsesinya untuk menyelesaikan S.2 lebih kuat mengalahkan keinginan untuk menikah. Namun kini, ia merasa dirinya harus segera menyempurnakan separuh agamanya. Ia membutuhkan seorang pendamping yang menjadi tempatnya berlabuh dan menumpahkan berbagai cerita dan gelisah jiwanya. Apalagi desakan dari Ibunya membuatnya tidak lagi bisa berdiam diri.

Ia sendiri heran, kenapa dorongan untuk menikah serasa kuat menyesak di rongga dadanya. Apakah saatnya telah tiba? Ia mencoba untuk banyak berpuasa, tapi puasa itu seakan tak mampu menundukkan gejolak itu. Berat. Hampir setiap malam ia menangis. Mengadukan perasaannya pada Sang Pencipta. Menumpahkan segala sesak di dada. Ia berdoa dalam tahajudnya yang panjang. Mengharap belas kasih dan curahan rahmat dari Sang Pemilik Jiwa.

"Selamat ya Fuad atas prestasi yang kamu raih dalam lomba Jaizah Dubes kemaren. Kapan jadi berangkat ke Australia?" Sapa Ustadz Jalal pada Fuad ketika Fuad berkunjung ke rumahnya.
"Insya Allah tanggal 14 Juli nanti, Ustadz."
"Insya Allah, semoga urusannya lancar dan perjalanan kamu diberkahi Allah."
"Amin, syukran doanya Ustadz."
"Sama-sama akhi. Apa kesibukan kamu sekarang?"
"Fokus merampungkan Tesis S.2. Saya punya target tahun depan sudah bisa di-munaqasyahkan, insya Allah."
"Insya Allah, akhi. Saya kagum dengan semangat dan kegigihanmu menuntut ilmu. Dalam usia yang masih muda, kamu akan menyelesaikan S.2-mu."
"Biasa saja Ustadz. Belum sepadan dengan prestasi yang pernah Ustadz raih," balas Fuad penuh senyum.

"Kamu terlalu merendah Akhi, saya senang bisa mengenalmu. Jarang lho di Al-Azhar ada mahasiswa yang bisa menyelesaikan S.2-nya pada usia 26 tahun."
"Seharusnya saya yang merasa senang bisa berkenalan dengan kandidat Doktor Jurusan Tafsir di Universitas Al-Azhar," jawab Fuad tak mau kalah.
"Ah, kamu terlalu berlebihan memuji saya akhi. Begini Akhi, mungkin lansung saja ya pada inti pembicaraan. Saya diberi amanah oleh kakak saya di Indonesia untuk mencarikan calon suami untuk anaknya. Selama ini saya mengamati mahasiswa-mahasiswa yang saya kenal termasuk akhi. Setelah saya coba pikirkan dan bicarakan dengan istri saya, saya melihat akhi orang yang tepat."
"Afwan Ustadz, saya kira Ustadz keliru dan terlalu berlebihan menilai saya. Saya hanya orang yang biasa saja."

"Tidak Akhi. Penilaian ini bukan asal-asalan. Tapi setelah sekian lama saya mengamati kehidupan Akhi. Kalau akhi berminat dan telah punya keinginan untuk menikah, kita bisa bicarakan lebih lanjut."
"Apakah calon yang wanitanya di Indonesia Ustadz?"
"Tidak, dia kuliah di Jurusan Syariah Islamiyah, tingkat tiga."
"Apa saya mengenalnya Ustadz?"
"Mungkin tidak. Sangat beda dengan akhi, kalau akhi seorang aktivis dia sebaliknya. Tidak banyak yang mengenalnya."
"Apa dia sendiri telah siap menikah Ustadz?"
"Insya Allah, kalau dia gak ada masalah. Ia selalu menuruti keinginan orang tuanya. Dia anak yang penurut. Kalau akhi bagaimana, apa sudah punya calon?"
"Belum Ustadz."
"Berarti pas sekali," tanggap Ustadz Jalal penuh riang dan menunjukkan wajah cerah.
"Tapi Ustadz, saya butuh waktu untuk mencerna dan mempertimbangkannya. Saya belum bisa memberi jawaban sekarang. Saya butuh waktu seminggu untuk memberi jawaban pada Ustadz."
"Tidak mengapa akhi. Saya bisa maklum. Silahkan ditimbang dulu dengan matang. Jika akhi menyetujui saya sangat senang sekali. Namun bila sebaliknya, tidak mengapa, saya akan mencoba menawarkan pada yang lain."
"Insya Allah Ustadz, akan saya istikharahkan pada Allah, semoga Allah menunjukkan yang terbaik, amin."
"Amin."

"Alhamdulillah, akhirnya amanah ini tersampaikan juga. Saya sangat senang sekali. Selamat Fuad kamu akan menikah sebentar lagi."
"Doanya Ustadz, semoga saya bisa mengemban amanah ini dengan baik."
"Amin, semoga Allah selalu memberkahi kalian nantinya, amin. Fuad, ada satu hal yang sangat penting untuk kamu ketahui, calon istrimu itu cacat."

Fuad sangat terkejut.
"Cacat maksud Ustadz bagaimana?"
"Cacat pendengaran, penglihatan, lisan, kedua tangan dan kedua kaki. Terkadang sering berbicara sendiri dan juga sering menangis tanpa sebab. Bagaimana, apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu?"
Fuad diam sejenak. Ia terlihat memikirkan sesuatu. Tak lama kemudian ia menjawab.

"Insya Allah, saya siap Ustadz," jawabnya dengan mantap.
"Ini keputusanmu?"
"Ini bukan keputusan saya Ustadz, tapi keputusan Allah. Saya telah meng-istikharahkan dan saya rasakan hati saya mantap dan teguh dengan pilihan ini. Saya yakin Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk saya."

"Apa kamu tidak menyesal dengan pilihan yang telah kamu ambil?"
"Tidak Ustadz, sama sekali tidak. Bagi saya, pilihan Allah lebih baik dan mulia. Walau secara zahir itu berat dan mungkin menyakitkan, tapi saya rela dan ikhlas. Insya Allah ada pahala dan kebaikan disana menanti. Saya teringat ketika Nabi Ibrahim harus dilemparkan ke dalam api, saat itu beliau tidak gusar dan tidak takut sedikitpun, karena Allah selalu bersama hamba-Nya yang berserah pada-Nya. Atau ketika Nabi Ibrahim harus meninggalkan istri dan anaknya di padang pasir yang tandus demi memenuhi seruan Allah."

"Saya kagum dan bangga padamu Fuad. Sebenarnya sejak awal saya ingin menceritakan padamu kondisi calonmu itu. Tapi, saat itu saya lupa untuk menyampaikannya. Maafkan atas kealpaan saya tersebut."
"Tidak mengapa Ustadz, semuanya sudah terjadi, dan sebagai seorang hamba Allah kita wajib menerima kehendak takdir. Barangkali dalam takdir Allah saya harus menikah dengan seorang wanita yang cacat. Saya ikhlas Ustadz. Mungkin disana pula sumber pahala saya dari Allah. Berkhidmah pada hamba-Nya yang cacat."

"Tapi apakah akhi tidak mencoba mencari wanita lain yang lebih baik dan sempurna?"
"Sebenarnya pada saat Ustdaz menawarkan anak dari kakak Ustadz pada saya, dua hari sebelumnya saya juga ditawarlan oleh teman saya, bahwa teman istrinya juga lagi mencari calon suami. Dan sebelumnya juga ada tawaran. Karena itu saya meminta pada Ustadz agar memberi saya waktu satu minggu untuk istikharah. Karena ada tiga wanita yang akan saya istikharahkan. Saya perlu waktu yang lama untuk memikirkan dan memutuskan dengan matang."

"O begitu, saya baru paham. Kekuatan apa lagi yang menguatkan langkahmu untuk menjatuhkan pilihan pada anak kakak saya tersebut?"
"Istikharah dan mimpi kedua orang tua saya Ustadz. Kami mengalami mimpi yang sama dan merasakan ketentraman serta kemantapan hati yang sama."
"Saya kagum padamu akhi, saya merasa tidak salah memilih dan menilai selama ini. Akhi adalah orang yang tepat. Semoga Allah merahmati hidupmu dan keluarga yang akan akhi bina nantinya, amin," ucap Ustadz Jalal dengan wajah berbinar-binar.


Satu minggu berlalu setelah pernikahan, Fuad menemui Ustadz Jalal Fakhruddin di rumahnya, di Bawwabah Tiga.

"Bagaimana kabarnya Fuad? Kamu terlihat sangat cerah dan lebih segar sekarang."
"Alhamdulillah Ustadz. Segala puji bagi Allah atas nikmat yang Ia curahkan."

"Ada yang ingin saya tanyakan tentang cerita Ustadz kemaren. Ustadz mengatakan bahwa istri saya cacat pendengaran, penglihatan, lisan, kedua kaki dan tangan. Sering berbicara sendiri dan kadang suka menangis tanpa sebab. Saya telah mengetahui dua jawaban yang terakhir. Saya menyadari bahwa istri saya memang sering terlihat seolah berbicara sendiri. Awalnya saya heran. Tapi setelah saya tanyakan dan mendengar dari dekat, ia tengah berzikir, menyebut nama Allah, terkadang bershalawat pada Rasulullah, dan membaca al-Quran. Saya perhatikan ia melakukannya setiap hari, setiap waktu, tanpa henti. Sewaktu menyapu rumah, mencuci piring, menjemur pakaian, memasak, lisannya seolah tak pernah berhenti berzikir. Begitu juga saat bepergian ke luar rumah. Adapun yang Ustadz katakan, bahwa ia terkadang sering menangis tanpa sebab, saya hampir mendapati itu tiap hari juga. Ketika saya tanyakan, ia menjawab bahwa ia teringat akan dosa-dosanya pada Allah, takut jika amalnya tidak diterima, teringat azab dalam kubur, mahsyar, hari penghisaban, shirat dan siksa neraka. Jika teringat akan hal itu air matanya sering meleleh. Itulah yang saya ketahui. Sedangkan cacat pendengaran, penglihatan, lisan, kedua tangan serta kaki itu, saya tidak mendapatkan. Saya perhatikan semuanya baik dan sehat."

"Akhi Fuad, alhamdulillah akhi telah menemukan jawabannya. Sedangkan maksud saya cacat pendengaran adalah, telinganya tidak pernah mendengarkan perkataan yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Tidak pernah mendengarkan musik dan segala lagu-lagu yang merusak iman dan jiwa. Sesungguhnya yang selalu menjadi penghibur dirinya adalah al-Quran dan nasehat-nasehat para ulama. Cacat penglihatan adalah tidak pernah melihat pada yang haram, seperti menonton film yang di dalamnya syahwat diumbar, bisa saya katakan, matanya selalu terjaga dari melihat segala hal yang mengudang dosa dan maksiat. Dan cacat lisan adalah ia tidak pernah berinteraksi dengan laki-laki, baik melalui sms, telpon, chating di YM, di FB dan seterusnya. Ia sangat menjaga hubungan dengan lawan jenis. Lisannya terjaga dari komunikasi dengan lawan jenis. Adapun cacat tangan adalah tidak pernah berbuat yang nista dan tercela. Sedangkan cacat kaki adalah selalu terjaga dari menempuh tempat-tempat maksiat. Selama di Mesir kakinya hanya melangkah untuk ke mesjid, majlis-majlis ilmu, bersilaturahmi, tidak pernah pergi ke warnet, mengikuti acara-acara yang di dalamnya bercampur laki-laki dan perempuan. Begitulah akhi, penjelasan singkatnya. Nanti setelah hidup lebih lama dengannya akhi akan banyak mengetahui tentang dirinya."

"Saya bersyukur Ustadz, inilah rupanya rahasia di balik petuntuk yang Allah berikan, dan hasil dari istikharah saya selama ini dan juga mimpi saya. Saya melihat dalam mimpi sebuah cahaya yang begitu terang, meneduhkan, menyejukkan, dan beraroma harum seperti kasturi."

Air mata Fuad menetes penuh bahagia, ia lalu bersujud syukur. Ia telah dikaruniai seorang wanita sorga yang dihadirkan Allah ke bumi. Wanita yang selalu menjadi buah bibir penduduk langit karena ketaatannya. Ia teringat dengan hadits Rasulullah. Walau di bumi istrinya tidak dikenal banyak orang tapi di langit, ia yakin istrinya selalu disebut dan didoakan oleh para malaikat

 

 

Kind and regards,

 

Yulistana PN, Mr

Estimating Dept

PT PROFAB INDONESIA

Jl. Bawal Kav. V, Batu Merah

Batam 29432

Ph           : +62778 413250

Fax         : +62778 413260

Email     : yulistana.negara@profab-group.com

 

Sunday 16 May 2010

Apakah Anda Berbakat Menjadi Orang Kaya?

Apakah Anda Berbakat Menjadi Orang Kaya?

Maaf, judul bagian ini bukanlah iklan sebuah pelatihan untuk menjadikan anda orang kaya. Selain karena saya tidak memiliki program pelatihan semacam itu, saya juga tidak tahu bagaimana caranya membuat seseorang menjadi kaya. Sampai saat ini saya baru memiliki kesempatan untuk sama-sama mengajak merenungkan tentang bagaimana cara kita memandang kekayaan. Konon, dari hal sederhana semacam ini saja sudah bisa ketahuan apakah seseorang berbakat untuk menjadi manusia kaya atau tidak. Makanya, Anda bisa mengerti mengapa sampai sekarang saya belum menjadi orang kaya.

Saya baru selesai melakukan aktivitas di fitness center. Setelah membersihkan diri, saya menuju ke loby untuk menanti istri saya yang menjemput. Di loby itu terdapat sebuah kursi panjang yang bisa diduduki oleh tiga orang. Saya mendapati seorang Bapak tengah duduk disana. Setelah mengucapkan permisi, saya duduk disampingnya. Lalu membuka laptop kembali. ”Wah, kerja terus, nih....” beliau menyapa ramah begitu layar notebook saya menyala. Saya bilang, ”Sambil menunggu istri saya memjemput, Pak.” begitu saya menjawab.

”Bekerja dalam bidang apa?” lanjutnya. Sesaat kemudian beliau mengetahui kalau saya menjalani profesi sebagai penulis jika sedang tidak ada tugas untuk memfasilitasi program pelatihan.

”Oh, Anda seorang trainer, ya?”
Saya mengangguk. ”Jika Bapak lebih senang menyebutnya demikian....”
”Motivator, begitu?” orang ini menjadi semakin menyenangkan.
”Nah, kalau itu bukan.....” Saya bilang. ”Soalnya saya tidak tahu bagaimana cara memotivasi orang.” saya melanjutkan ”Saya sendiri masih sangat membutuhkan motivasi.”

”Tapi, buku-buku Anda kelihatannya menunjukkan itu.” Seseorang yang penuh perhatian.
Saya menjelaskan kalau memang kadang-kadang saya diminta untuk membawakan topik training semacam itu. Jika saya mampu, ya ayo saja. Tetapi sebenarnya program utama yang saya bawakan berhubungan dengan Management, Leadership, Communication, dan Productivity Enhancement. Untuk memperkuat itu, lalu saya menyerahkan kartu nama. Ketika beliau membalas dengan sebuah kartu nama juga, saya jadi tahu kalau ternyata beliau adalah seorang trainer juga. Karena merasa diri lebih muda, secara otomatis saya memposisikan diri untuk lebih mendengar dari beliau. Siapa tahu dari pertemuan ini saya bisa belajar suatu ilmu. Benar saja. Tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan insight dari beliau. Sebuah ciri khas trainer yang handal.

”Saya punya sebuah teka-teki,” katanya. ”Tolong Mas Dadang jawab ya.” Saya mengiyakan, selama saya mampu untuk melakukannya. Lalu pada selembar kertas kecil beliau menuliskan tujuh kata. Berani, Kaya, Kasih, Memberi, Syukur, Menerima, Sehat. Kira-kira begitulah. Kemudian beliau meminta saya untuk mengurutkan berdasarkan prioritas diri saya sendiri. Nomor satu prioritas tertinggi, sedangkan nomor 7 untuk prioritas terendah. Setelah memberikan skor berdasarkan prioritas pribadi, saya mengembalikan kertas itu kepadanya.

”Mas Dadang,” katanya. ”Berdasarkan penelitian, sekitar sembilan puluh persen orang yang ditanya dengan daftar ini menempatkan kata ’kaya’ pada urutan yang paling rendah. Dinomor 6 atau nomor 7.” katanya. Seketika itu juga saya menyadari kalau kata ’kaya’ menjadi prioritas saya yang nomor 6. Berarti saya termasuk kebanyakan orang, dan saya segera mengerti konsekuensinya. ”Saya pernah membaca buku,” lanjut beliau. ”Dalam buku itu dijelaskan seandainya seluruh uang yang ada di dunia ini dikumpulkan lalu dibagi rata kepada semua orang maka setiap orang akan kebagian sekitar 25 Milyar.” Saya mengangguk-anggukan kepala.

Lalu beliau melanjutkan, ”Namun setahun kemudian, sekitar 90% uang itu akan kembali dimiliki oleh 5% orang. Anda mengerti maksudnya?” Hmmh, sebuah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Rupanya itulah kaitan antara meletakan kata ’kaya’ pada prioritas rendah dengan kepemilikikan uang. Mungkin itu juga alasannnya mengapa sampai sekarang saya belum kaya juga, haha.

Bagaimanapun juga, segala sesuatunya bisa masuk akal. Mari kita lupakan soal seerapa akuratnya angka-angka yang tadi kita sebutkan. Tapi, fakta bahwa saya menempatkan kata ’kaya’ siurutan ke-6 dalam prioritas hidup menegaskan jika saya tidak mungkin mengalokasikan sebagian besar potensi dan kapasitas yang saya miliki untuk mencari uang. Jika saya tidak mengerahkan seluruh atau sebagian besar daya hidup untuk mencari uang, mana mungkin saya bisa mewujudkan pencapain tertinggi dalam bentuk kekayaan? Begitulah logikanya. Anda pun pasti demikian bukan? Jadi, pelajaran penting yang saya dapatkan dari pertemuan ini berbunyi, ”Kalau kamu mau kaya, jadikanlah kata ’kaya’ sebagai prioritas hidupmu.”

Apakah saya tidak ingin kaya? Sejujurnya saya tidak tahu. Soalnya yang melekat dalam diri saya dari dulu sederhana saja, yaitu ingin serba berkecukupan. Jika saya ingin ini uang saya cukup, jika ingin itu juga cukup. Padahal, banyak hal yang ingin saya lakukan dalam hidup. Sehingga untuk mewujudkannya tidaklah mungkin kecuali jika saya memiliki dana yang cukup. Apakah itu termasuk ingin kaya? Entahlah. Yang jelas, sampai sekarangpun jika saya harus memilih ’kaya’ atau ’syukur’ tetap saja saya memilih syukur diurutan tertinggi. Soalnya, setiap kali saya memperhatikan jemari tangan saya memijit key board laptop disana saya melihat keajaiban. Saya tidak bisa membayangkan jika Tuhan mengurangi jari-jari tangan ini. Saya tidak tahu lagi mesti bagaimana menuangkan gagasan tanpa jemari tangan.

Lalu saya membayangkan kedua mata ini. Saya belum menemukan harga yang tepat seandainya boleh ditukar dengan sejumlah uang. Jantung ini. Sepasang telinga. Kaki, paru-paru dan segala sesuatu yang Tuhan lekatkan didalam diri saya. Istri, anak-anak, ayah dan ibu kami. Semuanya. Jika saya harus mendahulukan ’kaya’ dari ’syukur’ dan ’kasih’ maka itu bertentangan dengan panggilan hati saya. Saya beruntung hari ini bisa bertemu dengan kenalan baru itu. Sebab dari pertemuan itu saya jadi semakin menyadari betapa banyaknya hal yang mesti saya syukuri.

Ketika kendaraan yang menjemput saya tiba, saya segera pamit kepada beliau. Sebelum berpisah, saya mengatakan sesuatu yang sungguh-sungguh saya rasakan dihari itu. Saya bilang,”Saya belum kaya, Pak. Masih sering pusing memikirkan bagaimana cara menafkahi keluarga. Tapi entah mengapa, sewaktu saya sembahyang Ashar tadi saya kok merasa seperti orang yang sangat kaya.” Kami bersalaman, lalu berpisah dengan kesepakatan untuk terus menjalin silaturahmi.

Saya terkenang Firman Tuhan yang disampaikan melalui Nabi Suci. ”Jika kamu bersyukur, maka akan Aku tambah nikmatku lebih banyak lagi.” demikian kata Tuhan. ”Tetapi jika kamu tidak bersyukur, sesungguhnya siksaanku sangatlah pedih.” Sekarang saya tahu bagaimana caranya untuk kaya hanya dengan dua langkah sederhana. Langkah pertama berusaha, langkah kedua bersyukur. Apapun yang kita dapatkan dari hasil ikhtiar merupakan modal untuk memperoleh kepemilikan berikutnya seperti yang Tuhan janjikan. Sesuai janji Tuhan, ikhtiar tanpa henti akan mengantarkan kita kepada sebuah pencapaian. Sedang rasa syukur yang terus menerus menjamin tambahan dari Tuhan. Dengan demikian, kekayaan yang kita dapatkan nanti bukan hanya banyak dalam hal jumlah. Namun nilainya juga penuh dengan berkah.

Catatan Kaki:
Sangatlah penting untuk menjadi orang kaya dengan harta dan kekayaan yang penuh berkah. Namun berkah, tetap lebih bernilai daripada jumlah