Search This Blog

Wednesday 23 December 2009

Masih Adakah Dedikasi Disaat Kantor Sepi?

Masih ingat pepatah 'Kucing pergi, tikus menari' ? Jaman sekarang tubuh tikus hampir seukuran kucing, sehingga kucing tidak lagi berselera mengganggu tikus. Tapi, pepatah itu masih relevan hingga kini. Terlebih lagi, jika dikaitkan dengan prinsip kepemimpinan atau leadership, dan kinerja atau performance. Dalam konteks ini, kita bisa menguji kedua hal diatas ketika Umat Islam merayakan Iedul Fitri, atau saat Kaum Kristiani merayakan Natal. Tahukah anda mengapa demikian? Karena, itu adalah saat-saat dimana para atasan dan kolega pergi liburan. Walhasil, suasana kantor menjadi sunyi senyap. Lantas, apakah disaat senyap seperti itu kinerja anda naik dan menjadi lebih baik, atau malah turun menukik?

 

Seorang karyawan terlihat sibuk didepan komputernya dengan tampang yang serius. Mungkinkah dia termasuk karyawan yang sungguh-sungguh dalam bekerja? Kelihatannya sih demikian. Namun, ketika karyawan itu menyadari bahwa atasannya  berdiri tepat dibelakangnya, dan melihat seluruh tampilan dilayar komputernya; mendadak wajah karyawan itu berubah menjadi pucat pasi. Pada kesempatan lain, seorang karyawan buru-buru menutup layar monitor laptopnya ketika boss besar memasuki ruang rapat. Kita tentu mafhum; mengapa seseorang tidak ingin atasannya mengetahui apa yang sedang dilakukannya.

 

Kedua peristiwa yang saya ceritakan diatas bukan kisah rekaan semata. Dan itu sudah cukup menggambarkan betapa banyak orang yang tidak sungguh-sungguh bekerja pada saat seharusnya mereka bekerja. Jika saat para atasan berada dikantor saja banyak karyawan yang tidak sungguh-sungguh bekerja, maka bisa dibayangkan betapa banyak karyawan yang  menyia-nyiakan amanah seperti itu disaat musim libur panjang tiba?

 

Padahal, salah satu ciri karyawan yang baik adalah; bekerja dengan sungguh-sungguh meski tidak seorangpun mengawasinya. Oleh karena itu, kita bisa mengukur apakah kita ini karyawan yang baik atau bukan justru pada saat atasan kita tidak berada di tempat. Dengan kata lain, musim libur panjang seperti Iedul Fitri dan Natal adalah saat yang tepat untuk membuktikan kualitas diri kita sebagai seorang profesional.

 

Sewaktu saya masih kecil, guru mengaji saya menceritakan kisah tentang seorang anak yang tengah menggembalakan kambing yang jumlahnya banyak sekali. Suatu hari seorang lelaki tak dikenal menghampirinya, dan berkata; "Nak, jual satu ekor kambingmu itu kepadaku." Sambil dikeluarkannya uang dari dalam saku.

 

"Maaf  Tuan, kambing-kambing ini bukan milik saya. Jadi tidak akan saya jual." sahut anak itu.

"Sudahlah, Nak. Jumlah kambing itu sangat banyak. Majikanmu tidak akan tahu kalau berkurang satu." Orang itu meyakinkan.

"Benar Tuan. Majikanku tidak akan tahu kalau beberapa ekor kambing yang kugembalakan ini hilang." Sahutnya. "Tetapi Tuan," lanjutnya. "Tuhanku Yang Maha Melihat senantiasa memperhatikan semua yang aku lakukan ketika menggembalakan kambing-kambing ini."

 

Lelaki pendatang itu tertegun sesaat. Lalu memeluknya erat. Dan berkata;"Kamu benar anakku. Tidak ada satu tempatpun dimuka bumi ini yang tidak terlihat oleh Tuhan. Guru ngaji saya mengatakan bahwa lelaki asing itu bernama Umar Bin Khatab. Seorang Khalifah yang gemar menyamar.

 

Hari ini, kita mendapatkan anugerah yang tak ternilai dalam bentuk pekerjaan yang dipercayakan oleh perusahaan. Dan hari ini, kita mendapatkan pengingat dari gembala kecil itu. Karena, bekerja bukan semata-mata untuk menyenangkan majikan. Bekerja adalah sarana pengabdian kepada Tuhan. Sebab, Tuhan telah menganugerahkan begitu banyak potensi melalui kesempurnaan penciptaan diri kita. Sehingga, menyia-nyiakan amanah dari perusahaan, pada hakekatnya menyia-nyiakan anugerah Tuhan.

 

Malu kita seandainya diusia yang sudah dewasa seperti ini masih berprinsip untuk bekerja dengan baik hanya jika ada atasan. Bukan malu karena takut ketahuan atasan. Tapi malu bahwa kita selalu diperhatikan oleh Tuhan. Padahal, Tuhan menyediakan pahala untuk  setiap perbuatan baik yang kita lakukan. Artinya, jika kita bekerja dengan baik, maka bukan hanya gaji dari perusahaan yang kita dapatkan. Melainkan sesuatu yang nilainya lebih tinggi dari itu. Mengapa? Karena, setinggi apapun gaji yang anda terima; belum tentu sepadan dengan pengorbanan yang anda berikan. Sedangkan imbalan dari Tuhan? Tidak pernah lebih sedikit dari usaha yang kita upayakan. Bahkan, karena Tuhan itu Maha Pemurah; maka Dia menyediakan pahala yang berlipat-lipat. Bagi hamba-hambanya yang bekerja dengan tulus ikhlas. Yaitu, orang-orang yang bekerja bukan karena pengawasan orang lain. Melainkan mereka yang mempersembahkan setiap pekerjaan yang dilakukannya sebagai wujud pengabdian kepada Tuhan.

 

Catatan Kaki:

Ikhlas itu bukan bersedia bekerja tanpa imbalan. Melainkan mengharapkan keridoan Tuhan, atas setiap tindakan yang kita lakukan

 

Wednesday 16 December 2009

Google earth siang-siang


Mana yaaaa rumah ku,,,,ada nggak yaaa bekas lapangan tempat main2 dulu...
Begitu mungkin apa yg ada di pikiran mbak Debby begitu tau bisa ngeliat atap rumahnya...!

Monday 14 December 2009

Paku Yang Berserakan Di Jalan

Salah satu ucapan yang tidak terasa sering kita ungkapkan adalah frase ’tidak terasa, ya’. Sehingga, diakhir pekan kita kerap mengatakan; ”Duh, tidak terasa ya, sudah hari jum’at lagi”. Dan diakhir bulan kita mengatakan;”Tidak terasa ya, kok sudah akhir bulan lagi”. Lalu diakhir tahun, kita bilang; ”Tidak terasa ya, sebentar lagi tahun baru.....” Waktu yang didepan seolah terlihat berat untuk dijalani, ternyata ’tidak terasa’ sudah kita lalui tanpa kendala yang berarti. Sekarang, mari diingat lagi; berapa tahun usia anda saat ini? Bukankah kita telah menjalani tahun demi tahun kehidupan kita itu, nyaris ’tidak terasa’ juga?

Kalau sedang berjalan kaki, saya sering menemukan paku di jalan. Demikian pula halnya ketika tengah bersepeda. Kehadiran paku dijalan menarik perhatian saya. Karena, saya merasa bahwa jalan bukanlah tempat dimana paku seharusnya berada. Pernah suatu kali kepalan tangan saya tidak lagi bisa dimuati oleh apapun karena didalamnya terdapat segenggam penuh paku yang saya punguti di jalan yang saya lintasi. Sehingga saya harus menyediakan wadah khusus untuk menampung paku-paku itu. Dalam hati saya berbisik;’seandainya semua paku di seluruh jalan di negeri kita dipunguti, berapa ton paku yang bisa dikumpulkan?’

Mungkin saya agak berlebihan soal ’berapa ton’ itu, kalau diartikan sebagai satuan berat ’seribu kiloan’. Tapi, kalau ’ton’ dalam pengertian satuan jumlah ’seribuan’, saya yakin ungkapan ’berapa ton’ itu tidak berlebihan. Artinya, ada ribuan buah paku yang berserakan di jalan. Ketika saya membayangkan beribu-ribu paku yang menghadang kita dijalan, saya juga membayangkan; betapa ban kendaraan kita berada pada situasi yang sangat kritis saat melintasi jalan-jalan itu. Karena, setiap kali kita melintas, maka ada peluang ban kendaraan kita tertusuk paku-paku itu. Anehnya, mengapa tidak semua kendaraan yang melintasi jalan itu bannya bocor terkena paku? Bahkan, dalam setahun saya lalu lalang disana, belum tentu ban kendaraan saya kena paku barang sekalipun. Padahal kita tahu, disana banyak paku berserakan.

Mengingat itu, hati saya sering menjadi lebih terhibur. Mengapa? Karena, seperti jalanan yang berpaku disana-sini itu; kadang-kadang saya melihat jalan hidup ini juga sedemikian beresikonya untuk dilalui. Resiko kehilangan pekerjaan, resiko ditolak oleh pelanggan, resiko dilecehkan teman, resiko disepelekan atasan, resiko tidak memperoleh pendapatan yang sepadan, resiko kebangkrutan, resiko ini, dan resiko itu. Rasanya, kita tidak perlu memungkiri bahwa semua kemungkinan itu sering membuat hati kita ciut. Namun, membayangkan bahwa setiap hari kendaraan kita melintasi jalan yang berpaku; maka setiap hari kita berpeluang untuk mengalami bocor ban di jalan. Anehnya, kita tidak setiap hari mengalami bocor ban.

Menerima fakta itu membantu hati saya untuk menyadari bahwa; meskipun setiap hari kita melintasi jalan kehidupan yang penuh resiko, tapi ternyata kita tidak selamanya mengalami kejadian ’semengerikan’ itu. Mari kita tengok kebelakang barang sejenak. Lima tahun yang lalu, misalnya, kita tidak bisa membayangkan bagaimana caranya menjalani kehidupan selama lima tahun kedepan. Namun, kenyataannya adalah; kita sudah menjalani waktu lima tahun terakhir ini hingga saat ini, dengan ’tanpa terasa’. Hebatnya lagi, ternyata kita baik-baik saja.

Sekarang, mari kita berdiri disebuah titik yang kita sebut sebagai ’saat ini’, lalu memandang jauh kemasa depan. Apakah kita merasakan kegalauan itu? Kita galau karena tidak ada kepastian akan masa depan kita. Tetapi, mari kita tengok beberapa tahun lalu ke belakang ketika kita merasakan kegalauan yang sama. Kita bisa sampai di titik ini, dengan selamat. Oleh karena itu, meski saat ini kita didera galau yang sama ketika memandang masa depan; semoga kita masih memiliki kekuatan untuk meyakini bahwa kita akan berhasil melewati masa depan itu seperti halnya kita telah berhasil melampaui masa lalu kita.

Ngomong-ngomong, menurut pendapat anda; mengapa ban mobil kita jarang bocor meskipun setiap hari melintasi jalan yang berpaku? Mungkinkah itu karena Tuhan melindungi agar ban mobil kita tidak terlampau sering terkena paku? Kalau begitu, menurut pendapat anda; mengapa hidup kita jarang bahkan tidak pernah mengalami peristiwa mengerikan, meskipun setiap saat kita melintasi jalan hidup yang berpeluang untuk mengalami peristiwa-peristiwa mengerikan? Mungkinkah itu karena Tuhan tiada henti-hentinya menjaga diri kita agar tidak mengalami hal-hal mengerikan yang melampaui batas kemampuan kita?

Lebih dari itu, Tuhan telah menjagakan kita agar tidak semua peluang tak menyenangkan itu benar-benar menjadi kenyataan. Memang, kita menghadapi begitu banyak peluang buruk yang tidak kita sukai. Namun, Tuhan telah menebarkan peluang baik jauh lebih banyak dari hal-hal buruk yang mungkin menimpa diri kita. Dan itu cukup untuk membuktikan bahwa sebenarnya Tuhan berpihak kepada kita. Sebab, ketika Dia memberi peluang baik lebih banyak dari peluang buruk, maka sesungguhnya Dia ingin agar kita berkesempatan untuk mendapatkan peluang baik itu.

Jika sampai sekarang hidup kita baik-baik saja; tidak berarti bahwa kita tidak pernah mengalami cobaan, bukan? Kita mengalami banyak cobaan, namun sejauh ini semua cobaan itu masih dalam batas-batas kemampuan kita. Ini cocok dengan penjelasan guru ngaji saya bahwa; ”Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada seseorang, melainkan dalam batas kemampuan dirinya.”

Peluang buruk itu seperti paku yang berserakan dijalan. Jika kita memilih untuk memarkir kendaraan dirumah karena khawatir bannya akan kempes tertusuk paku yang berserakan; maka kita tidak akan pergi kemana-mana. Sebaliknya, jika kita bersedia mengambil resiko itu, maka kita akan mengeluarkan kendaraan dari garasi. Lalu kita melintasi jalan yang seharusnya kita lalui. Meskipun itu berarti bahwa kita menghadapi resiko ban bocor. Namun, kenyataannya ban kita tidak terlampau sering bocor. Bahkan, sekalipun kita melintasi jalan berpaku setiap hari.

Barangkali, jalan hidup kita juga memang demikian. Meskipun banyak resiko yang kita hadapi saat melintasinya; namun, tampaknya kita akan baik-baik saja saat menjalaninya setiap hari. Sehingga, memilih untuk menyingsingkan lengan baju lalu bangkit berdiri, kemudian melangkah menjalani hidup ini; adalah pilihan yang jauh lebih baik daripada menyerah dan berdiam diri. Sebab, saat kita menyerah; kita melewatkan beribu kesempatan dan kemungkinan untuk memperoleh anugerah yang kita sendiri tidak pernah tahu sebesar apa. Sebaliknya, saat kita berserah diri kepada keberpihakan Tuhan terhadap kesuksesan kita, lalu kita memohon ijin kepada-Nya untuk berikhtiar; maka kita memiliki harapan untuk berhasil melintasi perjalanan hidup ini dengan baik. Dan, tanpa terasa; kita bisa tiba diakhir perjalanan yang telah Tuhan tentukan untuk kita. Lalu saat itu kita boleh kerkata; ”Tuhan, telah kutunaikan seluruh panggilan-Mu. Dengan segala kurang dan lebihku. Dan kini, ijinkan aku untuk menyerahkan penilaian akhir kepada-Mu....”


Catatan Kaki:
Sepertiga dari kengerian yang terpampang dimasa depan adalah ilusi kita. Sepertiganya lagi adalah alat untuk meningkatkan ketangguhan kita. Dan sepertiganya lagi adalah pengingat agar kita tidak terlampau sombong dihadapan Tuhan.

Sudahkah Anda Menemukan Garis Horison Kehidupan?

Dari jaman dahulu kala, konon profesi sebagai peramal merupakan salah satu profesi paling laris. Apalagi kemajuan teknologi komunikasi saat ini memungkinkan para peramal untuk mempromosikan diri, sehingga minat orang menjadi semakin terbangkitkan. Mengapa kita sedemikian tertariknya pada ramalan? Karena kita sering penasaran dengan apa yang akan terjadi dimasa depan. Mengapa kita penasaran akan masa depan? Karena kita ragu bahwa masa depan kita akan baik-baik saja. Sebab, jika kita yakin bahwa masa depan kita akan berjalan mulus, kita tidak perlu was-was atas apa yang akan kita alami dimasa mendatang. Sekalipun kita tidak pergi ke peramal, tetap saja hati kita diliputi oleh kekhawatiran; akankah masa depan kita berjalan sesuai dengan harapan?

Minggu lalu, saya berkesempatan melihat garis horison dipinggir pantai. Anda tentu masih ingat dengan ’garis horison’, bukan? Garis mendatar yang seolah-olah menjadi pembatas antara bumi dengan langit. Jaman dahulu kala, garis horison disalahartikan sebagai ujung dunia, sehingga jika kita bergerak melewati garis itu, maka kita akan terjatuh ke jurang. Memandang jauh ke tengah laut seolah memandang jauh ke masa depan. Sehingga, dengan pola pikir seperti itu, kita sering beranggapan bahwa hidup kita hanya akan baik-baik saja sampai kita tiba di ’garis ujung’ itu. Dan karena ’garis ujung’ itu adalah batas kemampuan pandangan kita, maka ketika kita memandang hidup; kita sering khawatir atas apa yang akan terjadi ’setelah garis ujung’ itu terlampaui.

Setelah kita memahami bahwa bumi ini bulat, kita tahu bahwa garis horison bukanlah ujung dunia seperti yang kita duga. Jadi, jika kita bergerak melewati garis horison itu, kita tidak akan terjatuh. Kita bisa terus bergerak maju dengan aman dan leluasa. Selain itu, ketika kita menggunakan perahu motor menuju ke tengah laut, kita tidak benar-benar ’tiba’ di garis horison itu. Segigih apapun kita mengejar garis horison itu, tidak akan mampu untuk ’menangkapnya’. Sebab, setiap kali kita bergerak mendekat kepadanya, setiap kali itu pula dia bergerak menjauh.

Jangan-jangan, hidup juga demikian. Apa yang kita kira sebagai garis ujung dunia, ternyata bukanlah ujung dunia yang sesungguhnya. Melainkan hanyalah titik maksimal daya pandang kita. Karena itu, apa yang kita kira sebagai garis ujung optimisme kehidupan itu bukanlah ujung optimisme hidup yang sesungguhnya. Sebab setelah kita mencapai ’batas’ yang kita lihat itu, kita bisa menemukan wilayah lain yang terbentang diantara diri kita, dengan garis horison baru. Walhasil, boleh jadi kesempatan yang kita miliki dalam hidup itu tidaklah sebatas dari ’apa yang bisa kita lihat’ dari titik tempat kita berdiri ini. Sebab, dibelakang garis horison itu; terhampar kesempatan lain yang begitu luas.

Garis horison, adalah pembatas antara wilayah yang bisa kita lihat, dengan wilayah yang tidak bisa kita lihat. Kita dapat dengan leluasa menjelajah wilayah yang bisa kita lihat. Dan kalau kita bergerak mendekati garis horison itu, maka kita akan mampu untuk melihat wilayah lain yang sebelumnya tidak terlihat. Barangkali, hidup kita juga demikian. Meskipun kita sering dibatasi oleh sempitnya daya pandang kita; namun, ketika kita menjalani hidup ini dengan sungguh-sungguh. Lalu kita bergerak maju untuk mengeksplorasi inci-demi inci wilayah itu. Ternyata, garis batas itu tidak benar-benar ada. Walhasil, ketika kita secara konsisten bergerak maju menjalani hidup; hidup kita sama sekali tidak dibatasi oleh garis horison itu. Karena, ketika kita mendekatinya, sang garis bergeser menjauh. Seolah dia memberikan ruang yang lebih luas lagi kepada kita. Untuk terus menjelajah, tanpa mengenal lelah.

Bayangkan seandainya ketakutan kita akan keterbatasan pandangan itu menjadikan kita terdiam. Maka, jangkauan kita tidak akan pernah bertambah. Bahkan mungkin, kita akan dikurung oleh pesimisme dan ketakutan-ketakuan semu. Sebaliknya, jika kita bersedia menjalani hidup ini dengan keyakinan bahwa dunia kita sangatlah luas, maka bukan saja kita akan terbebas dari rasa was-was atas keserbaterbatasan yang ada. Lebih dari itu, kita bisa bersahabat. Bermain. Dan bercengkrama dengan garis horison itu. Ketika kita mengejarnya, dia akan berlari. Sehingga, tanpa kita sadari, kita sudah menjelajah jauh sekali. Dan dititik ini, kita akan menemukan; betapa rahmat Tuhan itu terhampar dengan teramat sangat luas. Dan semoga kiranya Dia, gembira melihat kita yang dengan sukacita bersedia menjalani fitrahnya.

Catatan Kaki:
Dengan selera humornya yang tinggi, garis horison menyembunyikan masa depan kita dibelakangnya; sebagai teka-teki untuk terus-menerus dieksplorasi

Apakah Hidup Anda Diliputi Oleh Keberuntungan?

Sudah sejak lama orang tua kita percaya bahwa kehidupan kita diliputi oleh keberuntungan. Itulah sebabnya, kita selalu mengatakan ’untung...,’ sekalipun kita baru saja mengalami sebuah musibah. Selama ini, kedalam diri kita sudah ditanamkan sebuah sikap untuk selalu melihat segala situasi dari sisi positifnya. Sehingga, dalam situasi apapun kita masih merasakan betapa beruntungnya diri kita. Jika demikian, apakah sumpah serapah atau rasa syukur yang lebih layak untuk diungkapkan?

Ketika saya masih kecil, rumah kediaman kami dilalap api, hingga seluruhnya berubah menjadi abu. Ayah dan Ibu saya bilang; ”Untung kita semua selamat,”. Sampai sekarang saya masih teringat dengan kobaran api itu. Dan setiap kali mengenangnya; saya juga teringat kata-kata Ayah-Ibu saya tentang keberuntungan itu.

Ketika sudah bisa berenang di sungai, saya tenggelam. Air deras menyeret tubuh saya hingga tersangkut disela-sela pintu penahan air di bendungan. Sampai sekarang saya masih ingat betapa beruntungnya saya karena ada rongga udara yang terbentuk antara lempengan pintu irigasi dengan titik jatuh air sehingga melalui rongga itu saya bisa bernafas sampai orang-orang berhasil menemukan saya.

Ketika beranjak remaja, gejolak muda mendorong saya untuk pergi ke Gunung Tangkuban Perahu dan membiarkan diri saya menginap disana. Bermalam di gunung sama sekali bukanlah masalah. Tetapi, melakukannya sendirian dialam liar tanpa perlengkapan apapun; kedengarannya bukan gagasan yang cerdas. Sampai saat ini saya masih mengenang betapa beruntungnya saya karena bisa selamat melalui malam yang mengerikan itu.

Kemarin malam, saya melakukan beberapa permainan kecil dengan anak-anak. Setelah melalui tahap tertawa dan melompat-lompat yang seru, saya berencana untuk melakukan sesuatu yang lain. Kali ini saya membutuhkan sebuah media yang harus dipotong-potong. Maka saya mengambil cutter kecil. Ketika memotong media itu, entah kenapa ujung cutter tergelincir dan patah hingga melukai pangkal jari tangan saya, persis dibagian yang banyak urat-urat kecilnya. Darah segar segera mengalir. Dan secara spontan saya berkata dalam hati;’Untung tidak sampai memutuskan urat-uratnya.” Saya kira masalah akan terhenti sampai disana. Ternyata saya keliru.

Sebelum sempat memberi tahu orang lain bahwa tangan saya terluka, anak lelaki kecil saya yang tengah berada dipuncak rasa senang berlari kearah saya. Lalu tanpa disadari dia merebut cutter itu dari genggaman saya. Maka secara spontan saya berteriak; ”Abang, ayah pegang pisau tajam, jangan merebutnya. BAHAYA!” tapi terlambat. Dia sudah terlanjur melakukannya. Ketika itu, saya merasakan segalanya seolah berjalan dalam gerak lambat. Semua kengerian itu seolah menancap dalam pikiran saya. Mulai dari ujung cutter yang tergelincir. Lalu dia patah merobek pangkal jari tangan saya. Urat-urat yang terlihat. Darah segar yang mengalir. Rasa perih yang menyayat. Dan..., tangan-tangan kecil polos yang merebut gagang cutter mengira mainan terbuat dari plastik.

Pikiran saya secepat kilat membayangkan luka macam apa yang bisa dialami oleh anak saya. Namun, ajaib sekali; tangannya tidak apa-apa. Lalu saya melihat gagang pisau cutter kecil itu. Ternyata, memang semua bagian pisaunya sudah patah tadi ketika saya memotong media permainan itu. Sekarang, saya merasa sangat beruntung karena pisau tajamnya sudah patah. Jika tadi pisau itu tidak patah, dan tanpa bisa dihindari anak lelaki kecil saya yang antusias itu merebutnya dari tangan saya; maka boleh jadi tangannya akan terluka parah. Sekarang saya tahu, betapa beruntungnya kami.....

Jika anda merasa saya sedang memamerkan keberuntungan-keberuntungan yang pernah saya alami dalam hidup, semoga anda berkenan mengubah prasangka itu. Sebab, kalaupun saya berniat untuk pamer, maka tidaklah mungkin saya bisa menceritakan satu demi satu keberuntungan itu. Sebab, kita semua tanpa henti-hentinya mendapatkan keberuntungan hidup yang sedemikian banyaknya sehingga kita tidak mungkin mampu bahkan untuk sekedar menyebutkannya satu persatu. Seperti firman Tuhan yang pernah diajarkan oleh guru ngaji saya, bahwa;”Jika engkau menghitung nikmat yang Tuhan berikan kepadamu, niscaya kamu tidak akan bisa menghitungnya....”

Tapi, jika benar nikmat Tuhan itu sedemikian banyaknya; mengapa kehidupan kita sering tidak beranjak ke tingkat yang kita impikan? Mungkin karena kita selalu mengimpikan kehidupan materialis. Kita terlampau sering mengukur kenikmatan dari jumlah uang yang kita dapatkan. Dari kekayaan yang kita kumpulkan. Dari kedudukan yang bisa kita banggakan. Dan dari jubah nama besar yang kita kenakan. Padahal, ternyata keberuntungan kita bisa menjelma dalam bentuk lain yang sering kita abaikan. Kesehatan kita. Kesempurnaan penciptaan tubuh kita. Terbebasnya kita dari perasaan tertekan. Rasa tenang kita. Tidur nyenyak kita. Pekerjaan dan gaji rutin yang kita terima. Dan semua hal lain yang jumlahnya tiada terhingga. Namun, karena kita kurang mensyukurinya; maka kita sering lupa bahwa semua itu adalah wujud keberuntungan hidup yang Tuhan anugerahkan kepada kita.

Memang benar bahwa ’sudut pandang’ kita menentukan apakah kita bisa menemukan hikmah dibalik setiap kejadian atau tidak. Namun, saya meyakini bahwa keberuntungan sama sekali bukan soal sudut pandang; melainkan soal kesadaran. Kita perlu lebih sadar bahwa Tuhan menginginkan kehidupan kita baik. Bahkan Tuhan tetap ingin agar hidup kita baik sekalipun kita sering mengambil langkah dan keputusan-keputusan yang bodoh. Hanya saja, kita sering tidak menyadari semua kebaikan Tuhan selama ini. Sehingga, kita sering berburuk sangka kepada-Nya. Kita mengira bahwa Dia memberi orang lain lebih banyak nikmat, daripada yang diberikan-Nya kepada kita. Padahal, boleh jadi kenikmatan yang sesungguhnya terletak pada hati nurani kita. Bukan pada benda atau atribut-atribut yang kita lekatkan pada tubuh kita. Jika kita berhasil menemukan tak berhingga kenikmatan didalam hati kita; mungkin kita bisa lebih sadar akan betapa beruntungnya diri kita. Karena ternyata. Kehidupan kita. Diliputi. Oleh keberuntungan.

Catatan Kaki:
Betapa banyak kebodohan yang sudah kita buat. Namun, Tuhan selalu bersedia untuk menutupinya dengan begitu banyak keberuntungan yang bisa kita dapat.

Sunday 13 December 2009

Menyelami samudera kehidupan kita

Kengerian macam apa yang membayangi anda ketika berhadapan dengan laut lepas? Seandainya anda kecebur laut yang penuh ombak itu, kira-kira nasib apa yang akan anda alami? Jangankan kecebur laut, mendengar debur ombaknya saja rasanya sudah menggetarkan, bukan? Saat membayangkan betapa luas dan dalamnya lautan, kita sering dihantui oleh pikiran-pikiran yang menyeramkan. Takut diserang ikan hiu. Takut tenggelam ditelan gelombang. Dan beragam macam ketakutan lainnya yang membuat hati kita ciut. Lalu, ingatkah anda bahwa selain untuk menggambarkan laut luas, kita juga menggunakan kata ’Samudera’ untuk menggambarkan betapa luas dan misteriusnya kehidupan kita? Kita menyebutnya ’samudera kehidupan’. Jika demikian, apakah hati kita juga diliputi kengerian saat membayangkan betapa luas dan dalamnya samudera kehidupan ini?

Semua kengerian tentang laut benar-benar membanjiri hati istri saya ketika dia telah mengenakan pakaian khusus penyelam. Maklum, ini adalah penyelaman pertama yang dilakukannya. Tetapi, kami meyakinkan dirinya bahwa dibawah sana ada keindahan yang dihamparkan Tuhan bagi mereka yang bersedia untuk menyelaminya. Keindahan yang tidak pernah bisa kita tatap dari permukaan air laut yang penuh gelombang dan tamparan ombak beriak-riak. Keindahan yang hanya bisa kita nikmati, jika kita bersedia untuk menceburkan diri, dan menyibakkan kengerian yang menyelimutinya.

”Embaknya kok tegang begitu?” goda instruktur diving yang memandu kami. ”Tenang saja,Mbak,” katanya lagi. Sembari sekali lagi dia meyakinkan bahwa diving itu adalah kegiatan yang sangat aman. Saya memegang erat tangan istri saya untuk mengurangi kecemasan yang mengganggunya. Bagaimanapun juga, untuk ukuran orang yang pertama kali diving, prestasi istri saya layak diacungi jempol. Gemetaran sedikit masih bisa dimaklumi.

”Takut ya?” tiba-tiba saja penyakit iseng saya kambuh. Istri saya hanya mencibir sambil menambah kencang pegangan tangannya ketika boat yang membawa kami meluncur semakin jauh ke tengah laut. Dan ketika tiba saatnya untuk menyelam, tidak ada lagi kesempatan untuk berpegangan tangan dengan saya. Sehingga dia harus benar-benar percaya bahwa dia bisa menyelam bukan hanya sekedar aman, tetapi juga menyenangkan. Didalam air, saya tidak melihat ketegangan menyelimuti dirinya. Mungkin beragam ikan warna-warni yang mengerubutinya telah memakan habis ketegangan itu. Meski tanpa kata, saya bisa merasakan bahwa istri saya sangat menikmatinya. Sampai-sampai kantong plastik berisi roti yang menjadi umpan ikan terlepas dari tangannya. Seekor ikan besar menyambar dan membawanya pergi. Untung instrukturnya berbaik hati memberikan umpan miliknya sehingga istri saya masih bisa merayu ikan-ikan itu untuk datang mendekat.

Setelah penyelaman itu, sama sekali tidak terlihat ketegangan yang sebelumnya saya baca diseluruh tubuhnya. Yang ada hanya tawa dan cerita ini itu tentang pengalaman menakjubkan yang baru saja didapatkannya. Terlebih lagi tentang ikan besar yang memiliki dua gigi menonjol dimulutnya. Istri saya bilang, ikan itu cantik. Bahkan dia mengatakan kalau ikan itu seperti memiliki alis mata yang diukir. Juga tentang pesona ikan- ikan yang cantik seolah mengenakan kosmetik. Serta sejuta kisah lainnya dalam penyelaman itu. Diam-diam, saya bertanya pada diri sendiri;”pergi kemana semua kengerian yang pernah menakuti dirinya?”

Tiba-tiba saja, saya jadi teringat akan Samudera Kehidupan kita. Mengingat betapa luasnya ia, kita sering ngeri dibuatnya. Kita sering dibayangi oleh ketakutan akan ada hal-hal mengerikan dalam hidup kita, seperti kita takut akan ada hiu yang siap menyerang. Mengingat betapa misteriusnya dia, kita sering khawatir atas apa yang akan terjadi esok. Mengingat betapa penuh teka-tekinya dia, kita sering tidak berani melakukan sesuatu untuk menemukan keindahan hidup yang sesungguhnya. Seperti ketakutan yang menyelimuti hati istri saya ketika dia harus terjun ke laut lepas. Padahal, seandainya dia memutuskan untuk tidak melakukannya, maka dia tidak akan pernah bisa bercerita tentang alis mata ikan-ikan yang memanjakannya itu.

Ketika membayangkan untuk terjun ke laut, istri saya begitu takut. Namun, setelah menyelam kedalamnya, dia seolah enggan untuk kembali ke perahu. Karena ternyata, didalam laut yang membuat kita takut itu, terdapat keindahan yang tiada terlukiskan. Ketika membayangkan untuk terjun kedalam samudera kehidupan, kita sering begitu takut. Kita takut tidak bisa menyelam didalamnya. Kita takut terseret gelombangnya. Kemudian tenggelam. Dan tidak bisa kembali ke permukaan. Padahal, boleh jadi; dikedalaman samudera kehidupan kita yang penuh misteri itulah keindahan hidup kita tersimpan. Sebab, seperti kita memandang lautan dari atas; kita hanya mampu melihat deburan ombak dan hamparan gelombang. Kita sama sekali tidak bisa melihat keindahan yang mereka sembunyikan dibawahnya. Demikian pula halnya dengan hidup kita. Jika kita hanya berani memandang permukannya saja; mungkin kita hanya bisa melihat gelombang-gelombang yang mendebarkan. Kita sama sekali tidak bisa melihat apa yang disembunyikan didalam gelombang kehidupan itu, jika kita tidak bersedia untuk masuk kedalamnya.

Sungguh, laut itu indah. Namun, keindahan sesungguhnya hanya bisa kita temukan ketika kita menyelam masuk kedalamnya. Sungguh, hidup ini indah. Namun, boleh jadi keindahan hidup sesungguhnya hanya bisa kita temukan ketika kita bersedia benar-benar menceburkan diri kedalam kehidupan itu sendiri. Sebab, seperti apa yang kita alami sewaktu menyelam. Pemandangan didalam air, sungguh sangat berbeda dari apa yang terlihat dipermukaan. Oleh karena itu, untuk menemukan keindahan sesungguhnya dari hidup ini, barangkali; tidaklah cukup hanya dengan melihat dan menjelajahnya dipermukaan saja. Barangkali, kita harus bersedia ’menahan nafas’ lalu terjun kedalam. Meskipun beresiko. Sekalipun pada awalnya tidak nyaman. Namun, ketika kita sudah sampai kedalam, kita akan menemukan sejatinya sebuah keindahan. Dan begitu kita berhasil menemukannya, kita menjadi tahu bahwa keindahan itu tidak bisa didapatkan jika kita bersikukuh untuk tetap tinggal dipermukaan.


Catatan Kaki:
Kita sering menilai hidup ini dari tampak luarnya yang penuh dengan gelombang. Padahal seperti laut, keindahan sesungguhnya dalam hidup akan ditemukan ketika kita bersedia menyelaminya.

Kemana Lift Kehidupan Kita menuju..?

Kita semua tentu mengenal lift. Dengan alat itu kita bisa naik atau turun tingkat pada sebuah gedung tinggi. Jika kita ingin naik, tinggal menekan tombol naik; lalu lift membawa badan kita naik. Jika kita ingin turun, tinggal pencet tombol turun; lalu lift itu dengan patuh membawa tubuh kita turun. Secara kasat mata, lift membawa kita naik atau turun. Namun, apakah lift juga bisa membawa ‘diri’ kita menuju ke tingkat yang kita inginkan?

Saya pernah berkantor di sebuah gedung perkantoran yang langka di jantung kota Jakarta. Gedung itu bernama GKBI yang letaknya persis diseputaran jembatan Semanggi. Mengapa saya sebut langka, karena gedung itu memiliki lift yang unik. Pada kebanyakan gedung bertingkat lain, jika kita ingin menuju ke lantai tertentu, kita cukup menekan tombol up atau down saja. Jika ada orang lain yang sudah menekan tombol itu, maka kita tidak usah bersusah repot lagi untuk menekannya. Istilahnya, kita bisa nebeng kepada usaha orang lain, untuk tiba di tingkat yang kita inginkan. Ketika salah satu pintu lift akan terbuka. Lalu kita memasukinya. Didalam lift itu, barulah kita menekan tombol nomor lantai yang hendak kita tuju. Jika ada orang lain yang sudah menekan ke lantai yang kita ingin tuju, kita boleh berdiam diri saja. Kita sebut saja system seperti ini sebagai lift konvensional.

Di gedung GKBI tidak bisa begitu. Karena untuk menuju ke lantai tertentu kita harus ‘terlebih dahulu’ menekan nomor lantai yang kita inginkan secara digital ‘diluar lift’. Setelah itu, sistem canggih tersebut memilihkan untuk kita lift mana yang akan membawa kita ke lantai yang kita inginkan. Contohnya, kita menekan angka 1 dan 0 untuk menuju ke lantai 10. Maka sistem itu akan mengarahkan kita kepada lift P, misalnya. Dan itu berarti bahwa kita harus menggunakan lift P untuk bisa sampai ke tempat yang akan dituju.

Ketika pintu lift yang bukan P terbuka, maka kita diam saja. Sekalipun lift itu masih kosong. Sekalipun kita sedang terburu-buru, kita tetap tidak memasukinya. Mengapa? Karena lift itu tidak akan membawa kita ke Lt 10 yang kita tuju. Dan karenanya kita akan tetap fokus kepada lift P. Dan kita hanya akan memasuki lift P, seperti niat kita semula. Ketika pintu lift P terbuka, kita memasukinya tanpa harus menekan apapun lagi. Karena, lift itu akan membawa kita ke lantai 10 yang kita pilih diawal tadi. Saya menyebutnya lift kontemporer.

Lift konvensional versus lift kontemporer. Di lift konvensional, kita boleh saja menyerahkan tujuan hidup kita kepada arus yang diciptakan oleh orang lain. Kita boleh ikut orang lain yang sudah terlebih dahulu menekan tombol. Tidak masalah apakah tujuan orang itu sama dengan tujuan kita atau tidak. Begitu tombol up atau down ditekan oleh orang lain, maka kita tinggal mengikuti arusnya saja.

Di lift kontemporer, kita tidak bisa lagi melakukan hal itu. Artinya, kita tidak bisa mengikuti saja apa yang orang lain lakukan dengan lift itu tanpa tahu tujuannya terlebih dahulu. Kita boleh mengikuti orang itu, hanya jika kita tahu persis bahwa tujuan orang itu adalah lantai yang sama dengan yang ingin kita tuju. Anda tidak boleh mengikuti orang lain jika tujuannya berbeda dengan Anda. Bahkan, Anda pun tidak boleh mengikuti orang lain dan menyerahkan tujuan Anda kepada orang lain yang Anda tidak tahu apakah tujuannya sama dengan Anda atau tidak.

Lift konvensional versus lift kontemporer. Di lift konvensional, kita tidak perlu merencanakan, kemana kita akan pergi. Di lift kontemporer, kita harus merencanakan, kemana kita akan pergi. Sebab, jika kita tidak merencanakan kepergian kita, maka begitu memasuki lift kontemporer ini, kita akan langsung tersesat. Sebab, lift itu tidak membawa kita ke tempat yang ingin kita tuju. Melainkan tempat antah berantah yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Jika lantai yang ingin kita tuju itu adalah ‘tujuan hidup’ kita. Dan jika kehidupan kita ini adalah sebuah lift yang akan membawa kita kepada tujuan hidup yang ingin kita capai itu, maka kiranya layak jika kita mengajukan 3 pertanyaan ini:

Pertama, “Apakah kita bisa mengandalkan dan menyandarkan diri kepada orang lain yang belum jelas kemana arah tujuannya?”

Kedua, “Apakah kita bisa memasuki pintu lift peristiwa kehidupan mana saja, yang tidak jelas ke lantai kehidupan mana dia akan menuju?”

Ketiga, “Apakah kita bisa membiarkan diri kita dibawa oleh lift kehidupan itu tanpa harus menentukan terlebih dahulu, lantai dimana tujuan kehidupan kita didefinisikan?”

Kita tidak selama-lamanya berhadapan dengan lift kehidupan konvensional hingga kita boleh saja menyerahkan seluruh kepentingan hidup dan tujuan hidup kita kepada orang lain yang sudah terlebih dahulu men-set lift itu. Sebab, ada kalanya kita berhadapan dengan lift kehidupan kontemporer. Sehingga kita harus benar-benar melakukan sendiri, dan menentukan sendiri; tujuan yang ingin kita capai dalam hidup kita.

Kita tidak selama-lamanya berhadapan dengan lift konvensional hingga kita boleh saja memasuki lift kehidupan manapun yang terbuka lebih dahulu. Sebab, ada kalanya kita berhadapan dengan lift kehidupan kontemporer. Sehingga kita harus benar-benar fokus, hanya kepada lift kehidupan yang akan membawa kita kepada tempat tujuan yang sudah kita rencanakan saja.

Kita tidak selama-lamanya berhadapan dengan lift kehidupan konvensional hingga boleh-boleh saja jika kita tidak menekan dan merencanakan tombol tujuan kehidupan sebelum memulai perjalanan ini. Karena didalam lift kehidupan konvensional, ‘akan ada kesempatan’ untuk menekan tombol itu. Nanti didalam lift. Namun, ada kalanya kita berhadapan dengan lift kehidupan kontemporer. Sehingga untuk bisa sampai kepada tujuan hidup yang kita inginkan; kita harus memulainya dengan merencanakannya terlebih dahulu. Sebab, didalam lift kehidupan kontemporer ‘tidak akan ada lagi kesempatan’ untuk menekan tombol itu. Semuanya serba terlambat. Dan kita akan segera tersesat.

Namun demikian, lift kehidupan konvensional dan lift kehidupan kontemporer memberi kita inspirasi untuk menentukan; kapan saatnya kita boleh mengikuti arus yang dibuat oleh orang lain. Dan kapan saatnya untuk mengandalkan kemampuan diri kita sendiri.

Catatan Kaki:
Kita tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa tak satupun dari pencapaian yang kita raih tanpa campur tangan orang lain. Namun, tidaklah masuk akal jika kita menyerahkan arah masa depan kita kepada orang lain.

Friday 27 November 2009

Mio di celah sempit


Lha wong ada tempat yg lega disebelahnya koq malah milih yg sempit2,,,apa maksudnya siiih...?

Estimator Photo session


Gaya P. Sulaiman sebagai model dan Mas Yanwar sebagai pemotretnya,,,ditambahin P. Harno sebagai pengarah gaya,,jadilah pose maut seperti apa adanya...!


Update per hari ini....1 April 2013


Setelah lama ngubek2 dokumen,,,,ketemulah candid camera seperti ini...dan setelah dicek ulang blog nya,,,he,,,5x,,,ternyata masih ada juga kenangan masa silam.....

So,,,dengan potographer yang sama,,,namun sudah lain model nya,,,,kali ini Om Yanwar kembali menggebrak dengan gaya andalannya..... Yup,,,Om Yanwar berhasil membujuk Kang Firman supaya mau jadi model dadakan,,,menggunakan alat jepret EOS nya P. Sulaiman, semakin manteplah Om Yanwar dan Kang Firman beraksi.......



Aksi ini walopun dilakukan di tempat kerja,,,namun di jam dan hari yg memungkinkan koq,,,jadi dijamin nggak mengganggu aktifitas kerja staff yg lainnya,,,apalagi sampe mengganggu aktifitas welder....(nggak lah yaaooo..).
Waaah,,,,jadi keinget kalo ada komen dari P. Sulaiman,,,,,siap pak,,,aku cari lagi dokumen2 yg lainnya,,,,,kalo memang rekan2 ada yg punya lainnya,,,silahkan kirim aja..

Ng-update hari ini,,,,, Feb 2018
Mumpung masih inget dan ketemu putu2 lama,,,, monggo yg mau nginget2 insiden dibawah ini,,,, pas ngapain yaa dulu ituu,,,

Formasi estimator profab terbaru tahun lalu...

Friday 20 November 2009

Antara estimator dan Sony Ericsson


Yaah,,,beginilah rasa kompaknya kami para estimator,,,dah 2 kali loo pake kaos SE semua...
Mas Yanwar selalu pengennya ditengah2 aja,,,,ndak tau napa...! Dijepret pake N86 nya P. Sulaiman yg awalnya mupeng sama W995,,,tapi yg njepret P. Harno yg nampaknya masih jaim mo make kaos SE,,,hi,,,,5x.

Sunday 1 November 2009

Benarkah Dalam Setiap Kesulitan Terdapat Kemudahan?


Salah satu pelajaran penting yang disampaikan guru mengaji saya adalah firman Tuhan yang berbunyi; "Sesungguhnya, dalam setiap kesulitan, terdapat kemudahan." Bagi saya, ini adalah firman yang sangat motivatif. Dia menguatkan kita saat menghadapi situasi sulit. Dan karena tak seorangpun dimuka bumi ini yang terbebas dari kesulitan hidup, maka sesungguhnya firman itu merupakan penghiburan bagi semua orang. Dengan firman itu, seolah Tuhan memberikan penegasan kepada kita semua bahwa kesulitan pasti akan datang. Namun, tak satupun dari kesulitan itu yang tidak memiliki kemudahan. Lantas, saya pribadi bertanya-tanya; "apakah kemudahan itu ada 'setelah' kesulitan berakhir, atau memang Tuhan bermaksud mengatakan bahwa kemudahan itu ada 'didalam' kesulitan? "

Untuk alasan kepraktisan, sebenarnya saya lebih suka membeli beras dalam kemasan karung. Selain tidak perlu bolak-balik ke warung dua hari sekali, membeli beras karungan juga memberi saya bonus berupa karung yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Namun, ada satu hal yang sangat tidak saya sukai, yaitu sulit sekali membuka tali simpul yang mengikat karung itu. Kadang-kadang saya harus menggunakan garpu atau tusuk gigi sebagai alat pengait untuk mengurai simpulnya satu demi satu. Tak jarang saya menjadi sangat kesal, lalu menggunakan pisau untuk merobek bagian atas karung itu agar bisa mengeluarkan berasnya. Oleh karena itu saya lebih sering membeli beras dalam kemasan kantung plastik. Isinya sedikit, tapi gampang membukanya. Memang, ini hanya soal pilihan. Apakah saya akan memilih karungan atau plastikan. Kira-kira demikian.

 

Sama halnya dengan hidup kita. Ketika kita memutuskan untuk memilih tentu kita memiliki alasan yang membuat kita berpikir bahwa jalan hidup itulah yang paling kita inginkan. Namun, setiap pilihan memiliki konsekuensi masing-masing. Dalam konteks ini berupa kesulitan dan kepedihan saat kita menjalaninya. Dalam banyak situasi, kita boleh memilih untuk mengerjakan hal-hal yang mudah; tetapi, biasanya hasilnya tidak terlampau berarti. Pekerjaan mudah yang kita lakukan itu tidak memberi dampak yang bermakna bagi perusahaan atau diri kita sendiri. Sebaliknya, jika kita memilih untuk melakukan sebuah project yang besar lagi rumit, mungkin hasilnya akan banyak. Namun, untuk menyelesaikannya kita harus bersedia menjalani lika-liku yang teramat sulit dan penuh rasa sakit.

 

Suatu ketika, saya kembali tergoda untuk membeli beras dalam karung. Disaat rasa putus asa hampir memenuhi ubun-ubun; secara tidak sengaja saya menarik ujung tali simpul dibagian lain dari pengikat karung itu. Ajaib sekali, ketika ujung tali itu ditarik; srrrrrrrrrreeeeeeet.....kesuluruhan tali simpul pengikat itu terlepas dengan begitu mudahnya! Sungguh, dengan cara itu hampir tidak ada tenaga yang terbuang. Dengan cara lama, saya harus sampai berkeringat dan menghabiskan waktu lebih dari lima belas menit untuk membuka simpul demi simpul yang ada. Tetapi, ketika ujung tali ajaib itu ditemukan, saya cukup menariknya nyaris tanpa tenaga, dan hanya butuh waktu kurang dari 3 detik untuk membuka karung itu. Lebih dari itu, karung berasnya pun utuh tidak kurang satu apapun.

 

Jika anda belum tahu tentang rahasia simpul karung beras ini; anda harus mencoba menemukan keajaibannya. Karena, simpul karung beras memberitahu kita sebuah rahasia yang selama ini sering kita ragukan, yaitu;"Sesungguhnya, dalam setiap kesulitan, terdapat kemudahan." Karung beras ini berhasil mengubah paradigma lama saya. Semula, saya mengira bahwa: kalau kita mau bersabar dalam kesulitan, maka 'diakhir' perjalanan kita akan sampai kepada sebuah kemudahan. Sehingga, selama ini saya berfokus kepada usaha 'menguatkan diri' untuk menempuh jalan sulit itu dengan sabar dan tabah, hingga saya bisa bertahan untuk tiba diakhir yang menyenangkan. Seperti memanjat gunung tinggi; jika kita bisa terus beranjak naik, kita akan sampai juga kepuncak tertinggi.

 

Sebaliknya, tali itu dengan gamblang menunjukkan bahwa kita tidak harus membuka satu demi satu simpul yang sulit itu terlebih dahulu untuk bisa membuka keseluruhan simpul karung. Justru, dia memperlihatkan bahwa ada cara yang sangat mudah yang tersembunyi dibalik setiap simpul yang sulit diurai itu. Tugas kita adalah untuk menemukan kemudahan itu tanpa harus mengurainya satu demi satu terlebih dahulu.

 

Barangkali, hidup juga memang demikian adanya. Itulah sebabnya, mengapa begitu banyak orang yang menderita dalam menjalani hidupnya. Seolah mereka berpindah dari satu kesulitan hidup, kepada kesulitan hidup yang lain. Namun, pada situasi yang sama; ada banyak orang yang bisa menjalaninya dengan begitu mudahnya. Seolah mereka selalu bisa menemukan jalan keluar dari setiap persoalan hidup yang menghadangnya. Ada apa ini sebenarnya? Barangkali, itu terjadi karena kita belum benar-benar memahami apa yang Tuhan isyaratkan dalam firmanNya;  "Sesungguhnya, dalam setiap kesulitan, terdapat kemudahan." Andai saja kita bisa menemukan simpul rahasia untuk mengurai belitan-belitan kesulitan hidup itu; mungkin kita bisa menjalaninya dengan teramat sangat mudah. Tidak peduli sesulit apa situasinya.

 

Sekarang, setiap kali saya membeli beras dalam karung; saya tidak pernah takut lagi akan kesulitan saat membuka tali simpul karung itu. Sebab, saya percaya bahwa pabrik yang membuat kemasan karung beras itu telah memasang tali simpul sedemikian rupa sehingga tali itu akan sulit untuk dibuka; supaya isi karung tidak mudah bertumpah ruah. Namun pada saat yang sama, ada sebuah titik rahasia yang bisa digunakan untuk membuka 'keseluruhan' tali simpul itu dengan teramat mudahnya. Tetapi, hanya orang yang tahu cara membukanya dengan benar sajalah yang dapat mengurainya dengan begitu mudah. Sehingga dia tidak akan mendapatkan kesulitan sama sekali saat membuka karungnya.

 

Untuk menjalani hidup, barangkali juga demikian; kita tidak perlu takut lagi akan kesulitan saat membuka simpul-simpulnya. Sebab, kita percaya bahwa Sang pencipta kehidupan itu telah memasang tali simpul sedemikian rupa sehingga tali itu akan sulit untuk dibuka. Tujuannya supaya makna kehidupan itu tidak mudah bertumpah ruah. Namun pada saat yang sama, ada sebuah titik rahasia yang bisa digunakan untuk membuka 'keseluruhan' tali simpul itu dengan teramat mudahnya. Tetapi, hanya orang yang tahu cara menjalaninya dengan benar sajalah yang dapat mengurainya dengan begitu mudah. Sehingga dia tidak akan mendapatkan kesulitan sama sekali saat menjalani hidupnya. 

 

Saatnya bagi kita untuk meninggalkan paradigma bahwa kemudahan akan datang setelah kesulitan. Karena jika demikian; berarti kita harus menjalani setiap episode sulit itu hingga habis terlebih dahulu sebelum mendapatkan kemudahan. Jika umur kita tidak cukup panjang, mungkin kita tidak akan pernah sampai pada kemudahan itu. Sehingga seluruh hidup kita dijalani dalam kesulitan. Sebaliknya, mari kita gunakan paradigma baru bahwa; kemudahan itu berada didalam kesulitan. Jadi, setiap kali kita menghadapi kesulitan, yakinlah bahwa kemudahan ada didalamnya. Sehingga, kita mempunyai kesempatan untuk menemukan simpul kemudahan didalamnya, agar bisa keluar dari kesulitan itu; sesegera mungkin. Lebih dari itu, kita bisa selalu berbaik sangka kepada Tuhan; atas segala hal yang telah Dia takdirkan.

 Catatan Kaki:

Alasan terbesar mengapa kita merasa sulit untuk menjalani sesuatu adalah karena kita tidak tahu caranya.


Catatan pribadi,

Memang benar adanya tentang analogi karung beras tersebut, dan sampai sekarang sayapun belum bisa mengetahui kunci rahasia simpul tersebut, walopun seringkali saya dengan mudahnya melepas simpulnya yg merupakan kebetulan semata2.

Friday 25 September 2009

Wednesday 16 September 2009

Kembang - kembang di taman



Hasil dari jepretan K770 yg ada di halaman rumah...!

Monday 24 August 2009

Badaipun Ikut Bertasbih



Contoh2 gambar badai diambil dari angkasa

Doa dari Keranjang Tempe

Artikel sederhana ini mungkin sudah sering dibaca, tapi tidak ada salah nya lagi mengulanginya...!



“Teruslah menulis dan ‘menulis’ setiap mimpi, cita-cita dan harapanmu…Tulislah dengan sempurna, baik dan dengan seksama penuh ketelitian…Biarkan Allah saja yang akan menghapus mana mimpi, cita-cita dan harapan Yang tidak Engkau butuhkan”

(Salman Al Muhandis)

Di Karangayu, sebuah desa di Kendal, Jawa Tengah, tempat tinggal seorang ibu penjual tempe . Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lakukan sebagai penyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang.

“Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya. “ demikian dia selalu memaknai hidupnya.

Suatu pagi, setelah salat subuh, dia pun berkemas. Mengambil keranjang bambu tempat tempe , dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas meja panjang. Tapi…….deg !! dadanya gemuruh. Tempe yang akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang, sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari peragian. Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti dia tidak akan mendapatkan uang, untuk makan, dan modal membeli kacang, yang akan dia olah kembali menjadi tempe.

Di tengah putus asa, terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, ditengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. “Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe . Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku…”

Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya. Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe . Dia rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih berlangsung. Dadanya gemuruh.

Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe. Dan… dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacangnya belum semua menyatu oleh kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri. Dia yakin, Allah pasti sedang “memproses” doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia.

Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. “Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah. Bantulah aku, kabulkan doaku…”

Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun pembungkus tempe. Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari daun itu, dan… belum jadi. Kacang itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang tersebut.

“Keajaiban Tuhan akan datang….pasti”, yakinnya. Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, “kehendak” Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe tempenya. Berkali-kali dia dia memanjatkan doa… berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya. Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan keranjang-keranjang itu.

“Pasti sekarang telah jadi tempe !” batinnya. Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan… dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi. Kecewa, airmata menitik di keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi?

Kenapa Tuhan begitu tidak adil?

Apakah Dia ingin aku menderita?

Apa salahku?

Demikian batinnya berkecamuk.

Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba merasa lapar… merasa sendirian. “Allah telah meninggalkan aku, batinnya”. Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan… esok dia pun tak akan dapat makan.

Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan “teman-temannya” sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas karena matahari telah naik dan dagangan tempe mereka telah habis. Dianggukinya mereka yang pamit, kesedihannya mulai memuncak. Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat.

Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah tersenyum, memandangnya.

“Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang menjualnya. Ibu punya??” Penjual tempe itu bengong. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menadahkan tangan. “Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe ….”

Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. “Jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe ….”

“Bagaimana Bu ? Apa ibu menjual tempe setengah jadi ?” tanya perempuan itu lagi. Kepanikan melandanya lagi. “Duh Gusti… bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan jadikan tempe ya?” ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat, pembaca ?? Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi ! “Alhamdulillah! “ pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli. Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. “Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?”

“Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya, si Sulhanuddin, yang kuliah S2 di Australia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok, sampai sana masih layak dimakan. Oh ya, jadi semuanya berapa, Bu ?”

=============================

Sahabatku, ini kisah yang biasa bukan ? Ya…sangat biasa, namun terkadang dari yang biasa kita akan dapat banyak hal yang luar biasa.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa…..dan “memaksakan” agar …..Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok untuk kita. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa. Padahal, Allah paling tahu apa yang paling cocok untuk kita. Bahwa semua rencananya adalah sempurna..

“Apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah, Dan apa yang buruk menurut kita, bisa jadi baik menurut Allah”

| Salman Al Muhandis |

Wallahu’alam Bishshawaab…..

Wassalam

Friday 21 August 2009

Mudik Jatim maret 2009



Pas mudik maret 2009 sekalian aqiqah Haidar

Wednesday 12 August 2009

Mengapa kemampuan belajar kita menurun drastis

Salah satu kemunduran yang kita alami seiring dengan bertambahnya umur adalah; berkurangnya kemampuan kita dalam belajar. Kalau kita berusaha untuk menghafal sesuatu misalnya, hafalan kita hanya bertahan beberapa jam saja. Atau, paling lama dalam hitungan hari. Setelah itu, kita lupa lagi, seolah tidak pernah melewati proses menghafal tadi. Selama ini kita percaya bahwa menurunnya kemampuan kita dalam belajar ada kaitannya dengan penurunan kemampuan otak kita. Oleh karena itu, orang-orang dewasa seperti kita selalu mempunyai cukup alasan untuk diberi belas kasihan. Jadi, "harap dimaklumi saja jika orang dewasa seperti kami ini agak 'telmi'". Tetapi, apakah penurunan kemampuan kita dalam menyerap ilmu itu benar-benar disebabkan oleh penurunan kemampuan otak, ataukah karena kurangnya antusiasme kita dalam belajar?
 
Baru-baru ini, saya mendapatkan kesempatan untuk berbicara dalam sebuah forum yang berkaitan dengan acara familiy gathering sebuah perusahaan. Tidak banyak waktu yang disediakan bagi saya. Hanya 45 menit saja. Namun, meski sangat singkat; sesi itu sangat spesial bagi saya. Sebab, audience yang hadir disana terdiri dari anak-anak, remaja hingga pimpinan puncak perusahaan. Berbicara diforum orang dewasa memang merupakan pekerjaan saya. Bagaimana dengan anak-anak? Itu juga bukan masalah, karena semasa kuliah dulu, saya ikut mengabdikan diri untuk menjadi mentor bagi anak-anak TK, SD, dan SMP di PAS-ITB. Not, that hard to deal with, actually. Tetapi...., masalahnya adalah; sekarang kedua tipe audience itu digabungkan dalam satu forum dimana saya harus menyampaikan pesan penting bagi semua. That's quite a challenge.  
 
Saya tidak melebih-lebihkan ketika mengatakan bahwa anak-anak dalam forum yang saya fasilitasi itu begitu antusias dan cerdas. Mereka mengerumuni saya, serta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan dengan penuh semangat. Dan cara mereka menjawab; bukan main, seolah mereka menggunakan semua energi yang dimilikinya. Mereka mengangkat tangan, melompat, dan berteriak. Tidak heran kalau pada usia seperti mereka, manusia bisa mencapai tingkat efisiensi proses belajar yang paling tinggi. 
 
Sesaat setelah menyelesaikan sesi itu, saya kembali merenungkan satu hal, yaitu; betapa mengagumkannya semangat belajar anak-anak dalam forum itu. Dan menengok kembali kebelakang ketika saya masih menjadi pembina PAS-ITB dulu, saya kira; memang demikianlah adanya anak-anak. Mereka memiliki semangat belajar yang teramat sangat tinggi. Sampai-sampai,  mereka membuntuti kemanapun saya pergi selama sesi itu.
 
Sampai disini, saya kembali tersadarkan, bahwa; kita para lelaki dan perempuan dewasa telah kehilangan antusiasme dalam belajar. Padahal, dahulu kala kita adalah little boys dan little girls yang pernah memiliki antusiasme itu. Dulu, kita seperti anak-anak kecil itu; dimana ketika kepada kita disampaikan sebuah pesan berisi pelajaran berharga dan nilai-nilai luhur; kita begitu bersemangatnya untuk menyerap seluruh ilmu itu. Dulu, kita seperti anak-anak kecil itu; dimana ketika kepada kita diajukan sebuah tantangan untuk melakukan sesuatu kita saling berebut untuk mengajukan diri, sambil mengangkat tangan dan terteriak; "Saya Pak Guru! Saya Pak Guru!" seolah kita tengah berlomba dengan teman-teman agar dipilih sang guru untuk melakukan tugas didepan kelas.  Dulu, kita seperti anak-anak kecil itu; dimana ketika kita tidak mengerti tentang sesuatu kita segera mengangkat tangan dan bertanya; "Bu Guru, itu maksudnya apa?" tanpa khawatir ditertawakan
oleh teman-teman sekelas.
 
Sekarang, kita sudah tidak seperti anak-anak kecil itu lagi, dimana kita sering kehilangan gairah untuk menerima masukan yang berisi pelajaran-pelajaran berharga. Sekarang, kita sudah tidak seperti anak-anak kecil itu lagi, dimana ketika kita ditantang untuk melakukan sesuatu kita bersembunyi sambil menunjuk-nunjuk teman kita; "kamu saja, kamu saja..." Sekarang, kita sudah tidak seperti anak-anak kecil itu lagi, dimana ketika kita tidak mengerti sesuatu kita memendamnya dalam hati seolah terbebani oleh stigma orang lain, bahwa; "Jika bertanya, maka kita menunjukkan betapa bodohnya kita". Padahal, kita tahu bahwa kebodohan itu sangat memalukan. Jadi, kita memilih untuk berpura-pura tahu; daripada menanggung resiko dikira bodoh. 
 
Oleh karena itu, tidak heran jika semakin tua; semakin berkurang kemampuan kita dalam belajar dan mengambil hikmah. Padahal, hikmah dan pelajaran itu berserakan disekitar kita. Namun kita sudah kehilangan kemampuan untuk menerimanya. Mencernanya. Dan meresapinya. Tiba-tiba saja; saya merindukan masa-masa ketika saya masih kecil dulu. Masa dimana saya begitu bersemangatnya. Untuk. Mempelajari. Segala sesuatu.
 
 
Catatan Kaki: 
Berkurangnya kemampuan kita dalam belajar dan menyerap ilmu tidak disebabkan oleh menurunnya kemampuan otak kita; melainkan oleh memburuknya sikap mental kita, ketika menjalani proses belajar itu.

Monday 3 August 2009

Benih

Hasil copy paste dari kolega, mungkin sudah pernah dibaca, namun tidak ada salahnya disegarkan kembali ingatannya...

Suatu ketika, ada sebuah pohon yang rindang. Dibawahnya, tampak dua orang yang sedang beristirahat. Rupanya, ada seorang pedagang bersama anaknya yang berteduh disana. Tampaknya mereka kelelahan sehabis berdagang di kota. Dengan menggelar sehelai tikar, duduklah mereka dibawah pohon yang besar itu. Angin semilir
membuat sang pedagang mengantuk. Namun, tidak demikian dengan anaknya yang masih belia.
"Ayah, aku ingin bertanya...." terdengar suara yang mengusik
ambang sadar si pedagang. "Kapan aku besar, Ayah? Kapan aku bisa
kuat seperti
Ayah, dan
bisa membawa dagangan kita ke kota?" "Sepertinya", lanjut sang bocah, "Aku tak akan bisa besar. Tubuhku ramping seperti Ibu, berbeda dengan Ayahyang
tegap dan berbadan besar. Kupikir, aku tak akan sanggup memikul dagangan kita jika aku tetap seperti ini."

Jari tangannya tampak menggores-gores sesuatu di atas tanah. Lalu, ia kembali melanjutkan, "Bilakah aku bisa punya tubuh besar sepertimu, Ayah? Sang Ayah yang awalnya mengantuk, kini tampak siaga. Diambilnya sebuah benih, di atas tanah yang sebelumnya di kais-kais oleh anaknya. Diangkatnya benih itu dengan ujung jari telunjuk. Benda itu terlihat seperti kacang yang kecil, dengan ukuran yang tak sebanding dengan tangan pedagang nya yang besar-besar. Kemudian, ia pun mulai berbicara. "Nak, jangan pernah malu dengan tubuhmu yang kecil. Pandanglah pohon besar tempat kita berteduh ini. Tahukah kamu, batangnya yang kokoh ini, dulu berasal dari benih yang sekecil ini. Dahan, ranting dan daunnya, juga berasal dari benih yang Ayah pegang ini. Akar-akarnya yang tampak menonjol, juga dari benih ini. Dan kalau kamu menggali tanah ini, ketahuilah, sulur-sulur akarnya yang menerobos tanah, juga berasal dari tempat yang sama. Diperhatikannya wajah sang anak yang tampak tertegun.

"Ketahuilah Nak, benih ini menyimpan segalanya. Benih ini menyimpan batang yang kokoh, dahan yang rindang, daun yang lebar, juga akar-akar yang kuat. Dan untuk menjadi sebesar pohon ini, ia hanya membutuhkan angin, air, dan cahaya
matahari yang cukup. Namun jangan lupakan waktu yang membuatnya terus bertumbuh. Pada mereka semualah benih ini berterima kasih, karena telah melatihnya menjadi mahluk yang sabar." "Suatu saat nanti, kamu akan besar Nak. Jangan pernah takut untuk berharap menjadi besar, karena bisa jadi, itu hanya butuh ketekunan dan kesabaran."

Terlihat senyuman di wajah mereka. Lalu keduanya merebahkan diri,meluruskan pandangan ke langit lepas, membayangkan berjuta harapan dan impian dalam benak. Tak lama berselang, keduanya pun terlelap dalam tidur, melepaskan lelah mereka setelah seharian bekerja.



Terimakasih buat seseorang yg telah tegar menjalani ujian2 sampai saat ini...!


Sunday 2 August 2009

Cukup Berhargakah Pekerjaan Anda?

Cukup berhargakah pekerjaan anda…?

Pernahkah anda memiliki sesuatu yang tidak anda sadari betapa pentingnya dia hingga anda kehilangan benda itu? Saya sering mengalami hal semacam itu. Misalnya, lampu senter. Ketika arus listrik mengalir lancar, saya sering tidak peduli pada keberadaan lampu senter itu. Namun, ketika lampu mati, saya kelimpungan mencari-cari dimana saya meletakkan benda kecil itu. Tiba-tiba saja saya merasakan betapa berharganya sebuah lampu senter. Dan betapa hidup saya bergantung kepadanya. Ketika seluruh ruangan dirumah saya menjadi gelap gulita, saya baru menyadari bahwa saya telah menyia-nyiakan sang lampu senter selama ini. Itu hanya soal lampu senter. Bayangkan seandainya itu menyangkut sesuatu yang sangat menentukan kelangsungan hidup kita? Misalnya pekerjaan yang kita miliki ini. Bukankah kita sering kurang menyadari betapa berharganya pekerjaan kita ini; sampai-sampai kita lebih sering mengeluh daripada mensyukurinya?

Beberapa waktu yang lalu saya mampir ke sebuah mal. Ada hal aneh di mal itu, namun saya tidak begitu yakin apa penyebabnya. Setelah cukup lama berkutat dengan rasa penasaran, akhirnya saya menemukan kejanggalan itu. Di Mal itu, ada beberapa outlet yang menghilang. Salah satunya adalah counter makanan kecil dimana saya biasa membeli kuaci untuk cemilan selagi menonton televisi. Ada outlet fashion yang berubah menjadi ruangan kosong melompong, sebuah restoran yang raib, dan space sebuah cafe yang tinggal setengahnya.

Untuk sejenak saya terpana. Membayangkan orang-orang yang beberapa hari lalu ada di mal ini untuk melayani pelanggan-pelanggannya. Namun, hari ini mungkin mereka berada dirumah, tanpa tahu kapan akan kembali melakukan pekerjaannya lagi. Anda yang tidak pernah kehilangan pekerjaan mungkin tidak akan mampu membayangkan betapa beratnya itu. Tapi mereka yang mengalaminya, tahu persis bagaimana rasanya. Pertanyaannya adalah; apakah kita harus menunggu kehilangan terlebih dahulu untuk bisa benar-benar menyadari betapa bernilainya pekerjaan kita ini?

Pengabaian kita terhadap pekerjaan memiliki bobot yang lebih berat dibandingkan dengan pengabaian kita kepada benda-benda kecil seperti lampu senter tadi. Mengapa? Karena kita seringkali menganggap bahwa ’kitalah sang pemilik’ pekerjaan itu. Oleh karena itu, sebagai pemilik kita merasa memiliki segala kewenangan untuk memperlakukan kepemilikan kita itu sesuka hati kita. Padahal, faktanya; ’kita bukanlah pemilik pekerjaan itu’. Perusahaan tempat kita bekerjalah yang memilikinya. Bukan kita. Buktinya, jika perusahaan ingin mengambil kembali pekerjaan yang kita pegang, maka kita dengan sukarela atau terpaksa mesti ’mengembalikan’ pekerjaan itu kepada perusahaan.

Jebakan rasa kepemilikan semu itu menimbulkan otoritas imitatif pada kebanyakan pekerja. Sehingga, mereka mengira boleh bersikap apapun terhadap pekerjaannya. Ya, namanya juga pemilik. Mau melakukan apapun semau-maunya juga boleh saja, bukan? Makanya, begitu banyak orang yang terlambat menyadari bahwa pekerjaannya benar-benar berharga, yaitu ketika mereka kehilangan pekerjaannya. Sebaliknya, ketika mereka masih ’memiliki’ pekerjaan itu, mereka cenderung mengabaikannya.

Salah satu ciri paling umum orang yang seperti itu adalah; mereka tidak sungguh-sungguh menuangkan seluruh potensi dan kapasitas dirinya untuk menghasilkan kinerja terbaik dalam pekerjaannya. Mereka mengira bahwa dengan tidak menggunakan kapasitas dirinya itu, perusahaan yang akan rugi. Padahal, kerugian paling besar dialami oleh dirinya sendiri. Mengapa begitu? Ada 2 alasan. Pertama, dengan tidak mencurahkan seluruh potensi dirinya secara optimal akan memperkuat alasan bagi perusahaan untuk mencari orang lain yang bisa menggantikannya. Kedua, tidak mendayagunakan potensi diri sama artinya menyia-nyiakan anugerah yang telah Tuhan berikan kepadanya. Bukankah Tuhan pun belum tentu suka kepada orang yang menyia-nyiakan anugerahNya?

Ciri lainnya adalah; rendahnya tingkat disiplin kerja mereka. Orang-orang yang percaya bahwa pekerjaannya berharga tidak mungkin mengabaikan disiplin diri dalam bekerja. Sebab, mereka tahu bahwa perusahaan bisa sewaktu-waktu mengambil pekerjaan itu darinya lalu diberikan kepada orang lain yang lebih bisa berdisiplin. Dengan kata lain, mereka tahu bahwa satu-satunya cara untuk mencegah hal itu tidak terjadi adalah; menunjukkan disiplin yang tinggi saat bekerja. Sebaliknya, orang-orang yang lupa betapa berharganya pekerjaannya sering menganggap bahwa disiplin mesti dijalankan jika dan hanya jika dia diawasi. Jika tidak ada yang mengawasi, mengapa mesti berdisiplin tinggi?

Padahal, disiplin adalah urusan pribadi. Karena, kedisiplinan berhubungan langsung dengan integritas diri. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki integritas diri pasti akan menghargai pekerjaannya. Sehingga selama bekerja, dia akan bersungguh-sungguh, dan mengerahkan seluruh potensi dirinya. Untuk mencapai prestasi. Yang tinggi.

Catatan Kaki:
Saat yang tepat untuk menghargai sesuatu adalah pada saat kita masih memilikinya, bukan ketika kita telah kehilangannya.

Thursday 30 July 2009

Obrolan nyante di chat box yahoo - lawyer

Pas iseng2 chat box yahoo koq ada nama temenku….so,,,langsung deh kita coba ber chat ria, kebetulan aku ada sedikit klarifikasi tentang jobdesk seorang lawyer yg pernah kami bahas suatu malam di tempat teman dulu sekali…! Cuman sekedar memastikan saja,,,dan berikut merupakan petikan chatting tentang tugas lawyer sesungguhnya, terimakasih banyak buat temenku BLK atas penjelasannya.


kuta_padma is Available
Me:
Assalamualaikum wr wb

kuta_padma :
heiii
waalaikum salam pak,,
hehhehehee

Me:
Nanya lagi Bung,,,tapi bukan masalah insurance,,,terlalu njlimet,,,dijalanin aja dulu,,
Inget nggak waktu di rumah Ayu malem2,,,aq nanya2 ttg hukum...?

kuta_padma :
enggak deh kyknya tuh dah lamaaaa

Me:
Gpp,,,aku ingetin aja

kuta_padma :
trus?

Me:
Aq pernah dapet jawaban dari dirimu,,,bahwasanya tugas lawyer ntu,,membela client terlepas dari apakah client itu salah ato benar (yg sesungguhnya)
Inget nggak...
Mau mastiin sekali lagi aja,,,

kuta_padma :
truss???
yg mo ditanyain?

Me:
Berarti,,,mmisal nih yaa..? aku nyewa lawyer (padahal jelas2 aku yg salah),,berarti si lawyer itu akan menggunakan kemampuannya supaya aq bisa menang,,,begituyaa..?

kuta_padma :
yuupphh,,tapi semua itu tergantung nurani lawyer
ada yg mau bela meski salah
ada juga yg g mau ngebela kalo salah
tpi tugas klien hrus jujur ke lawyer ttg duduk persoalan
spy lawyer punya strategi bwt menangin kasus

Me:
Nah itu yg aku maksudkan,, persis seperti yg kamu jelasin malem2 ntu.

kuta_padma :
menggunakan kemampuannya supaya kmu bisa menang,,,
memang bgitu
asal kita jujur kita diposisi salah ato benar sekiranya
mang knp na?
kena kasus?

Me:
Padahal kan aktualnya si client salah,,, kalo dibela,,, berarti si lawyer iku ngebelain orang salah yaa...?

kuta_padma :
iyaaa
banyak kan yg begitu
klo g begitu mana ada org yg jahat menang?
buktinya banyak kan kejadian org yg salah dimenangkan?

Me:
Enggak,,,soalnya rekan kerjaku juga lulusan SH,,, rencana aku mo sharing ilmu aja,,tapi belum punya bahan buat diskusi
Naah,,, diliat dari info2 di tipi juga siiih,,, makanya aq inget penjelasanmu dulu,,
Sekali thanks buat infonya. Trus, kamu dah nerusin skul jadi lawyer nggak..?

kuta_padma :
kayaknya enggak deeh
berat di mental n moral
lawyer kalo g berani ambil rsiko dunia akherat susah kaya n sukses nya
mau g mau pasti banyak berhadapan dengan "mafia keadilan"
ogah aah

Me:
Thanks sekali lagi atas sharingnya...

kuta_padma :
pilih hidup tenang,bahagia,damai sejahtera,kaya raya,sukses dunia akhirat mati masuk surga
hahahhahahhaahha
amiiiinnn

Me:
Oh iya,,,aku minta ijin copy penjelasanmu ini yaa...?
kuta_padma :
keeyy
waahhh bayar royalti paak!!!!
Me:
Amiiin....!
kuta_padma :
Me:
Semoga deh,,royaltinya ilmu yg bermanfaat...!

kuta_padma :
amiinn
jd sedekah ya pak?
hehhhehe

Me:
InsyaAllah.....!

kuta_padma :
"power of sedekah"
is amazing!!!

Me:
Nggak diragukan lagi imbalan-Nya

kuta_padma :
hehhehehehe


Begitulah,,,akhirnya aku sudahi chattingnya dengan penambahan wawasan lagi kususnya tentang seorang lawyer. Mohon maaf jika mungkin ada kata2 yg tidak berkenan bagi para pembaca, bukan bermaksud untuk mendiskreditkan suatu posisi, semata2 karena rasa keingintahuan saja.

Terimakasih

Wednesday 29 July 2009

Demo siang


Alkisah,,,disuatu siang nan sejuk di dalam ruangan kantor ber-ac,,,Mas Yanwar sedang menunjukkan sebuah demo kepada P. Sulaiman dengan sebuah N95 ditangan kanannya,,,maduuu,,di tangan kirinyaaa…ups,,,sorry ngelantur….!

Entah demo apa yg sedang terjadi dan bakalan terulang,,,namun yg pasti secercah senyum kemenangan tersungging dari bibir mas Yan disertai kepuasan bathin dari P. Sulaiman. Bolak-balik dari meja satu ke meja yg lainnya,,masih dengan rasa penasaran saya berusaha mencaritau dengan mengerahkan segala kemampuan,,,dan akhirnya,,,ketemu deh apa yg sedang terjadi,,,,,, ternyata mereka sedang membuat sebuah akun fesbuk…….
Well done buat mas Yan dan P. Sulaiman….! Semoga sesuai dengan yg diharapkan….!

Sunday 26 July 2009

Kontras Antara ’Tampak Luar’ Dan ’Daleman’ Seseorang

Sudah menjadi kelaziman jika kita terpukau oleh ’tampilan luar’ segala sesuatu. Kita suka pada orang-orang yang ’kelihatannya’ baik, pintar, bijaksana dan berwibawa. Tak jarang kita mengidolakan mereka secara berlebih-lebihan. Namun, kadang-kadang rasa suka itu berbalik menjadi kekecewaan begitu kita tahu bahwa ’ternyata’ ada sisi gelap yang dimiliki oleh orang yang kita kagumi itu. Walhasil, rasa hormat kita berubah menjadi kebencian. Atau setidak-tidaknya, kita tidak lagi bersedia mendengar suara-suara kebijaksanaan darinya. Padahal, kebenaran tetaplah kebenaran, meskipun dia datang dari dalam lumpur. ’Kekurangan’ atau sisi gelap seseorang mestinya tidak menjadikan nilai-nilai luhur lain yang disampaikannya kehilangan makna. Sebab, jika kita hanya bersedia mendengar ’orang-orang yang tidak memiliki kekurangan’ maka kita tidak akan pernah menemukan orang semacam itu. Walhasil, kita tidak bisa saling belajar satu sama lain.

Saya sedang bekendara dengan istri saya ketika sebuah mobil mewah mendahului mobil yang saya kendarai. Karena saya belum mampu memiliki mobil mewah seperti itu, maka secara otomatis mata saya tertuju kepadanya. Mengikuti gerakannya yang seolah bersinar laksana rembulan tengah purnama. Memukau. Dan mengagumkan. Apalagi mobil itu terlihat bersih karena sang pemilik merawatnya dengan baik. Namun, ketika mobil itu tepat berada didepan, saya melihat ada sesuatu yang janggal. Bamper belakangnya tidak ada. Mungkin dicopot dibengkel untuk diperbaiki sehingga sekarang saya bisa melihat ’daleman’ mobil mewah yang selama ini tertutup oleh bamper. Sungguh, body mobil yang tidak tertutup bamper itu tidak terlihat indah. Ternyata, kalau tidak dibungkus dengan ’tampilan luar’ itu, mobil paling mewah sedunia pun tidak terlihat sempurnanya.

Saya menjadi teringat celetukan seseorang yang berbunyi kira-kira begini;”Ngapain aku dengerin omong dia? Wong sama istrinya saja dia cerai kok. Pake khotbah kayak gitu segala.....”

Orang yang seperti teman saya ini tidak hanya satu. Mungkin banyak sekali. Yang meskipun tidak salah untuk bersikap begitu, namun juga tidak sepenuhnya fair. Jika kita mengharapkan seseorang menjadi ’manusia super’ terlebih dahulu sebelum bersedia berbagi sistem nilai dan prinsip-prinsip kebajikan, maka artinya tidak seorangpun didunia ini yang mampu melakukan itu. Dan itu juga berarti bahwa jika kita punya gagasan positif, kita tidak bisa berbagi gagasan itu dengan orang lain sebelum kita bisa menjadi manusia yang benar-benar suci. Oleh karena itu, kita perlu bersikap proposional, rasional, sekaligus realistis. Dengan begitu, kita bisa tetap objektif tanpa harus menutup mata kepada nilai-nilai kebenaran dan keluhuran budi. Dan untuk bisa begitu, kita perlu mengambil langkah sekurang-kurangnya seperti ini:

Pertama, benar-benar bersedia menerima kenyataan bahwa orang lain tidak berbeda dengan kita, dalam konteks sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Berfokus kepada kelebihan untuk dicontoh dan kepada kekurangan untuk dihindari, jauh lebih produktif daripada mempermasalahkan kekurangan seseorang.

Kedua, menghindari terlampau mengidolakan seseorang. Kekaguman secara berlebihan bisa menjebak kita kepada dua kutub ekstrim. Yaitu, kutub tertutupnya mata batin kita, sehingga ketika orang yang terlampau kita idolakan itu terpeleset sedikit saja sudah menjadikan kebencian kita memuncak sepuncak-puncaknya. Sebaliknya, kita juga bisa masuk kekutub ekstrim lain berupa tertutupnya mata lahir kita oleh kezaliman dan keburukan orang yang kita kagumi itu, sehingga kita menjadi terlampau permisif. Itulah sebabnya banyak orang T-O-P-B-G-T yang meskipun melakukan kezaliman tetapi tidak tersentuh oleh hukum negara maupun hukum sosial. Kita menutup mata dengan sikap dan perilaku buruknya. Maka dari itu, kekaguman pada seseorang mestilah ada dalam kadar yang wajar.

Ketiga, perlu dibedakan antara kekurangan seseorang yang bersifat kelemahan manusiawi, dan kejahatan atau kebejatan moral. Seseorang yang ’tercela’ karena ketidakmampuannya atau kelemahannya tetapi masih bisa menjaga kesucian nilai kemanusiaannya adalah gambaran seorang manusia apa adanya. Begitulah manusia. Dia punya kelemahan. Sehingga hendaknya kita tidak memvonis buruk reputasinya, dan menutup mata dan telinga dari kebaikan dan kebijaksanaan yang masih bisa ditebarkannya. Seperti kasus teman saya itu; perceraian seseorang dengan istri atau suaminya tidak serta merta mengisyaratkan dia orang yang buruk.

Berbeda dengan orang-orang yang memang berperilaku buruk, kriminal, dan melanggar norma. Misalnya, seorang sahabat bercerita kepada saya tentang seseorang yang dikenal sangat bijaksana, berbicara tentang moral disana-sini; namun, jika berurusan dengan uang, dia seolah lupa atas semua yang pernah dikatakannya. ”Seolah dia tidak takut lagi pada Tuhan,” begitu kira-kira ungkapannya. Ada juga orang yang bergembar-gembor soal keluhuran moral dan etika, namun diketahui sering bersikap asusila dengan perempuan-perempuan yang bukan muhrimnya. Atau, mereka yang dikenal bijak dan pantas dijadikan tempat berguru tapi ternyata sering menyakiti hati tetangganya dan tidak peduli jika tetangganya itu terganggu oleh ulahnya.

Hal ini semakin menegaskan kepada kita, bahwa seperti mobil mewah tadi; ’daleman’ seseorang tidak selalu semulus dan sekelimis tampilan luarnya. Meski begitu, tidak berarti bahwa kita boleh mencampakkannya begitu saja. Namun, juga tidak berarti kita boleh mentolelir tindakan amoral dan kriminal yag dilakukannya. Ini menegaskan kita bahwa bersikap objektif dan proporsional itu penting. Sehingga, kita tidak kehilangan makna atas keyakinan kita bahwa setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Agar kita bisa terus saling belajar, sambil tetap memberi ruang kepada setiap pribadi untuk melakukan kesalahan dalam koridor keterbatasannya sebagai seorang manusia. Dan pada saat yang sama, kita mengatakan ’tidak’ pada kebejatan moral dan perilaku tercela lainnya.

Catatan Kaki:
Ada bedanya antara kelemahan dan kebejatan. Kita boleh menerima kelemahan, namun menolak tindakan dan perilaku buruk yang datang dari hati yang kotor.

Friday 24 July 2009

Rehat sebentar dari gawean




Asiknya kalo pas istirahat siang,,,,,ditemani dengan sebuah henpon keluaran tercanggih yg bisa menangkap sinyal analog stasiun televisi nasional.

Inilah implementasi dari sebuah konvergensi alat yg bernapa multimedia henpon,,,lumayan bisa untuk melepas penat setengah harian para estimator yg mumet ngitung2 tender terus.

Nih henpon saking canggihnya,,bisa dibuat 2 layarnya,,,kalo yg kecil kurang jelas,,,bisa ngliat yg guede yg dibelakangnya,,,ups,,,sorri,,,salah liat,,ternyata layar yg dibelakangnya ntu adalah layar lcd buat komputer,,,hi,,,hi,,5x.

:-)