Search This Blog

Monday 24 August 2009

Badaipun Ikut Bertasbih



Contoh2 gambar badai diambil dari angkasa

Doa dari Keranjang Tempe

Artikel sederhana ini mungkin sudah sering dibaca, tapi tidak ada salah nya lagi mengulanginya...!



“Teruslah menulis dan ‘menulis’ setiap mimpi, cita-cita dan harapanmu…Tulislah dengan sempurna, baik dan dengan seksama penuh ketelitian…Biarkan Allah saja yang akan menghapus mana mimpi, cita-cita dan harapan Yang tidak Engkau butuhkan”

(Salman Al Muhandis)

Di Karangayu, sebuah desa di Kendal, Jawa Tengah, tempat tinggal seorang ibu penjual tempe . Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lakukan sebagai penyambung hidup. Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang.

“Jika tempe ini yang nanti mengantarku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya. “ demikian dia selalu memaknai hidupnya.

Suatu pagi, setelah salat subuh, dia pun berkemas. Mengambil keranjang bambu tempat tempe , dia berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas meja panjang. Tapi…….deg !! dadanya gemuruh. Tempe yang akan dia jual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang, sebagian berderai, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari peragian. Tempe itu masih harus menunggu satu hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti dia tidak akan mendapatkan uang, untuk makan, dan modal membeli kacang, yang akan dia olah kembali menjadi tempe.

Di tengah putus asa, terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil. Maka, ditengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia baca doa. “Ya Allah, Engkau tahu kesulitanku. Aku tahu Engkau pasti menyayangi hamba-Mu yang hina ini. Bantulah aku ya Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe . Hanya kepada-Mu kuserahkan nasibku…”

Dalam hati, dia yakin, Allah akan mengabulkan doanya. Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe . Dia rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih berlangsung. Dadanya gemuruh.

Dan pelan, dia buka daun pembungkus tempe. Dan… dia kecewa. Tempe itu masih belum juga berubah. Kacangnya belum semua menyatu oleh kapas-kapas ragi putih. Tapi, dengan memaksa senyum, dia berdiri. Dia yakin, Allah pasti sedang “memproses” doanya. Dan tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah seperti dia.

Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi. “Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah. Bantulah aku, kabulkan doaku…”

Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun pembungkus tempe. Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari daun itu, dan… belum jadi. Kacang itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang tersebut.

“Keajaiban Tuhan akan datang….pasti”, yakinnya. Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin, “kehendak” Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe tempenya. Berkali-kali dia dia memanjatkan doa… berkali-kali dia yakinkan diri, Allah pasti mengabulkan doanya. Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan keranjang-keranjang itu.

“Pasti sekarang telah jadi tempe !” batinnya. Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan. Dan… dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi. Kecewa, airmata menitik di keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi?

Kenapa Tuhan begitu tidak adil?

Apakah Dia ingin aku menderita?

Apa salahku?

Demikian batinnya berkecamuk.

Dengan lemas, dia gelar tempe-tempe setengah jadi itu di atas plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu. Dan dia tiba-tiba merasa lapar… merasa sendirian. “Allah telah meninggalkan aku, batinnya”. Airmatanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan… esok dia pun tak akan dapat makan.

Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan “teman-temannya” sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas karena matahari telah naik dan dagangan tempe mereka telah habis. Dianggukinya mereka yang pamit, kesedihannya mulai memuncak. Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat.

Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paro baya, tengah tersenyum, memandangnya.

“Maaf Ibu, apa ibu punya tempe yang setengah jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang menjualnya. Ibu punya??” Penjual tempe itu bengong. Terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menadahkan tangan. “Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe ….”

Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. “Jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe ….”

“Bagaimana Bu ? Apa ibu menjual tempe setengah jadi ?” tanya perempuan itu lagi. Kepanikan melandanya lagi. “Duh Gusti… bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan jadikan tempe ya?” ucapnya berkali-kali. Dan dengan gemetar, dia buka pelan-pelan daun pembungkus tempe itu. Dan apa yang dia lihat, pembaca ?? Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi ! “Alhamdulillah! “ pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli. Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. “Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?”

“Oohh, bukan begitu, Bu. Anak saya, si Sulhanuddin, yang kuliah S2 di Australia ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok, sampai sana masih layak dimakan. Oh ya, jadi semuanya berapa, Bu ?”

=============================

Sahabatku, ini kisah yang biasa bukan ? Ya…sangat biasa, namun terkadang dari yang biasa kita akan dapat banyak hal yang luar biasa.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa…..dan “memaksakan” agar …..Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok untuk kita. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa. Padahal, Allah paling tahu apa yang paling cocok untuk kita. Bahwa semua rencananya adalah sempurna..

“Apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah, Dan apa yang buruk menurut kita, bisa jadi baik menurut Allah”

| Salman Al Muhandis |

Wallahu’alam Bishshawaab…..

Wassalam

Friday 21 August 2009

Mudik Jatim maret 2009



Pas mudik maret 2009 sekalian aqiqah Haidar

Wednesday 12 August 2009

Mengapa kemampuan belajar kita menurun drastis

Salah satu kemunduran yang kita alami seiring dengan bertambahnya umur adalah; berkurangnya kemampuan kita dalam belajar. Kalau kita berusaha untuk menghafal sesuatu misalnya, hafalan kita hanya bertahan beberapa jam saja. Atau, paling lama dalam hitungan hari. Setelah itu, kita lupa lagi, seolah tidak pernah melewati proses menghafal tadi. Selama ini kita percaya bahwa menurunnya kemampuan kita dalam belajar ada kaitannya dengan penurunan kemampuan otak kita. Oleh karena itu, orang-orang dewasa seperti kita selalu mempunyai cukup alasan untuk diberi belas kasihan. Jadi, "harap dimaklumi saja jika orang dewasa seperti kami ini agak 'telmi'". Tetapi, apakah penurunan kemampuan kita dalam menyerap ilmu itu benar-benar disebabkan oleh penurunan kemampuan otak, ataukah karena kurangnya antusiasme kita dalam belajar?
 
Baru-baru ini, saya mendapatkan kesempatan untuk berbicara dalam sebuah forum yang berkaitan dengan acara familiy gathering sebuah perusahaan. Tidak banyak waktu yang disediakan bagi saya. Hanya 45 menit saja. Namun, meski sangat singkat; sesi itu sangat spesial bagi saya. Sebab, audience yang hadir disana terdiri dari anak-anak, remaja hingga pimpinan puncak perusahaan. Berbicara diforum orang dewasa memang merupakan pekerjaan saya. Bagaimana dengan anak-anak? Itu juga bukan masalah, karena semasa kuliah dulu, saya ikut mengabdikan diri untuk menjadi mentor bagi anak-anak TK, SD, dan SMP di PAS-ITB. Not, that hard to deal with, actually. Tetapi...., masalahnya adalah; sekarang kedua tipe audience itu digabungkan dalam satu forum dimana saya harus menyampaikan pesan penting bagi semua. That's quite a challenge.  
 
Saya tidak melebih-lebihkan ketika mengatakan bahwa anak-anak dalam forum yang saya fasilitasi itu begitu antusias dan cerdas. Mereka mengerumuni saya, serta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan dengan penuh semangat. Dan cara mereka menjawab; bukan main, seolah mereka menggunakan semua energi yang dimilikinya. Mereka mengangkat tangan, melompat, dan berteriak. Tidak heran kalau pada usia seperti mereka, manusia bisa mencapai tingkat efisiensi proses belajar yang paling tinggi. 
 
Sesaat setelah menyelesaikan sesi itu, saya kembali merenungkan satu hal, yaitu; betapa mengagumkannya semangat belajar anak-anak dalam forum itu. Dan menengok kembali kebelakang ketika saya masih menjadi pembina PAS-ITB dulu, saya kira; memang demikianlah adanya anak-anak. Mereka memiliki semangat belajar yang teramat sangat tinggi. Sampai-sampai,  mereka membuntuti kemanapun saya pergi selama sesi itu.
 
Sampai disini, saya kembali tersadarkan, bahwa; kita para lelaki dan perempuan dewasa telah kehilangan antusiasme dalam belajar. Padahal, dahulu kala kita adalah little boys dan little girls yang pernah memiliki antusiasme itu. Dulu, kita seperti anak-anak kecil itu; dimana ketika kepada kita disampaikan sebuah pesan berisi pelajaran berharga dan nilai-nilai luhur; kita begitu bersemangatnya untuk menyerap seluruh ilmu itu. Dulu, kita seperti anak-anak kecil itu; dimana ketika kepada kita diajukan sebuah tantangan untuk melakukan sesuatu kita saling berebut untuk mengajukan diri, sambil mengangkat tangan dan terteriak; "Saya Pak Guru! Saya Pak Guru!" seolah kita tengah berlomba dengan teman-teman agar dipilih sang guru untuk melakukan tugas didepan kelas.  Dulu, kita seperti anak-anak kecil itu; dimana ketika kita tidak mengerti tentang sesuatu kita segera mengangkat tangan dan bertanya; "Bu Guru, itu maksudnya apa?" tanpa khawatir ditertawakan
oleh teman-teman sekelas.
 
Sekarang, kita sudah tidak seperti anak-anak kecil itu lagi, dimana kita sering kehilangan gairah untuk menerima masukan yang berisi pelajaran-pelajaran berharga. Sekarang, kita sudah tidak seperti anak-anak kecil itu lagi, dimana ketika kita ditantang untuk melakukan sesuatu kita bersembunyi sambil menunjuk-nunjuk teman kita; "kamu saja, kamu saja..." Sekarang, kita sudah tidak seperti anak-anak kecil itu lagi, dimana ketika kita tidak mengerti sesuatu kita memendamnya dalam hati seolah terbebani oleh stigma orang lain, bahwa; "Jika bertanya, maka kita menunjukkan betapa bodohnya kita". Padahal, kita tahu bahwa kebodohan itu sangat memalukan. Jadi, kita memilih untuk berpura-pura tahu; daripada menanggung resiko dikira bodoh. 
 
Oleh karena itu, tidak heran jika semakin tua; semakin berkurang kemampuan kita dalam belajar dan mengambil hikmah. Padahal, hikmah dan pelajaran itu berserakan disekitar kita. Namun kita sudah kehilangan kemampuan untuk menerimanya. Mencernanya. Dan meresapinya. Tiba-tiba saja; saya merindukan masa-masa ketika saya masih kecil dulu. Masa dimana saya begitu bersemangatnya. Untuk. Mempelajari. Segala sesuatu.
 
 
Catatan Kaki: 
Berkurangnya kemampuan kita dalam belajar dan menyerap ilmu tidak disebabkan oleh menurunnya kemampuan otak kita; melainkan oleh memburuknya sikap mental kita, ketika menjalani proses belajar itu.

Monday 3 August 2009

Benih

Hasil copy paste dari kolega, mungkin sudah pernah dibaca, namun tidak ada salahnya disegarkan kembali ingatannya...

Suatu ketika, ada sebuah pohon yang rindang. Dibawahnya, tampak dua orang yang sedang beristirahat. Rupanya, ada seorang pedagang bersama anaknya yang berteduh disana. Tampaknya mereka kelelahan sehabis berdagang di kota. Dengan menggelar sehelai tikar, duduklah mereka dibawah pohon yang besar itu. Angin semilir
membuat sang pedagang mengantuk. Namun, tidak demikian dengan anaknya yang masih belia.
"Ayah, aku ingin bertanya...." terdengar suara yang mengusik
ambang sadar si pedagang. "Kapan aku besar, Ayah? Kapan aku bisa
kuat seperti
Ayah, dan
bisa membawa dagangan kita ke kota?" "Sepertinya", lanjut sang bocah, "Aku tak akan bisa besar. Tubuhku ramping seperti Ibu, berbeda dengan Ayahyang
tegap dan berbadan besar. Kupikir, aku tak akan sanggup memikul dagangan kita jika aku tetap seperti ini."

Jari tangannya tampak menggores-gores sesuatu di atas tanah. Lalu, ia kembali melanjutkan, "Bilakah aku bisa punya tubuh besar sepertimu, Ayah? Sang Ayah yang awalnya mengantuk, kini tampak siaga. Diambilnya sebuah benih, di atas tanah yang sebelumnya di kais-kais oleh anaknya. Diangkatnya benih itu dengan ujung jari telunjuk. Benda itu terlihat seperti kacang yang kecil, dengan ukuran yang tak sebanding dengan tangan pedagang nya yang besar-besar. Kemudian, ia pun mulai berbicara. "Nak, jangan pernah malu dengan tubuhmu yang kecil. Pandanglah pohon besar tempat kita berteduh ini. Tahukah kamu, batangnya yang kokoh ini, dulu berasal dari benih yang sekecil ini. Dahan, ranting dan daunnya, juga berasal dari benih yang Ayah pegang ini. Akar-akarnya yang tampak menonjol, juga dari benih ini. Dan kalau kamu menggali tanah ini, ketahuilah, sulur-sulur akarnya yang menerobos tanah, juga berasal dari tempat yang sama. Diperhatikannya wajah sang anak yang tampak tertegun.

"Ketahuilah Nak, benih ini menyimpan segalanya. Benih ini menyimpan batang yang kokoh, dahan yang rindang, daun yang lebar, juga akar-akar yang kuat. Dan untuk menjadi sebesar pohon ini, ia hanya membutuhkan angin, air, dan cahaya
matahari yang cukup. Namun jangan lupakan waktu yang membuatnya terus bertumbuh. Pada mereka semualah benih ini berterima kasih, karena telah melatihnya menjadi mahluk yang sabar." "Suatu saat nanti, kamu akan besar Nak. Jangan pernah takut untuk berharap menjadi besar, karena bisa jadi, itu hanya butuh ketekunan dan kesabaran."

Terlihat senyuman di wajah mereka. Lalu keduanya merebahkan diri,meluruskan pandangan ke langit lepas, membayangkan berjuta harapan dan impian dalam benak. Tak lama berselang, keduanya pun terlelap dalam tidur, melepaskan lelah mereka setelah seharian bekerja.



Terimakasih buat seseorang yg telah tegar menjalani ujian2 sampai saat ini...!


Sunday 2 August 2009

Cukup Berhargakah Pekerjaan Anda?

Cukup berhargakah pekerjaan anda…?

Pernahkah anda memiliki sesuatu yang tidak anda sadari betapa pentingnya dia hingga anda kehilangan benda itu? Saya sering mengalami hal semacam itu. Misalnya, lampu senter. Ketika arus listrik mengalir lancar, saya sering tidak peduli pada keberadaan lampu senter itu. Namun, ketika lampu mati, saya kelimpungan mencari-cari dimana saya meletakkan benda kecil itu. Tiba-tiba saja saya merasakan betapa berharganya sebuah lampu senter. Dan betapa hidup saya bergantung kepadanya. Ketika seluruh ruangan dirumah saya menjadi gelap gulita, saya baru menyadari bahwa saya telah menyia-nyiakan sang lampu senter selama ini. Itu hanya soal lampu senter. Bayangkan seandainya itu menyangkut sesuatu yang sangat menentukan kelangsungan hidup kita? Misalnya pekerjaan yang kita miliki ini. Bukankah kita sering kurang menyadari betapa berharganya pekerjaan kita ini; sampai-sampai kita lebih sering mengeluh daripada mensyukurinya?

Beberapa waktu yang lalu saya mampir ke sebuah mal. Ada hal aneh di mal itu, namun saya tidak begitu yakin apa penyebabnya. Setelah cukup lama berkutat dengan rasa penasaran, akhirnya saya menemukan kejanggalan itu. Di Mal itu, ada beberapa outlet yang menghilang. Salah satunya adalah counter makanan kecil dimana saya biasa membeli kuaci untuk cemilan selagi menonton televisi. Ada outlet fashion yang berubah menjadi ruangan kosong melompong, sebuah restoran yang raib, dan space sebuah cafe yang tinggal setengahnya.

Untuk sejenak saya terpana. Membayangkan orang-orang yang beberapa hari lalu ada di mal ini untuk melayani pelanggan-pelanggannya. Namun, hari ini mungkin mereka berada dirumah, tanpa tahu kapan akan kembali melakukan pekerjaannya lagi. Anda yang tidak pernah kehilangan pekerjaan mungkin tidak akan mampu membayangkan betapa beratnya itu. Tapi mereka yang mengalaminya, tahu persis bagaimana rasanya. Pertanyaannya adalah; apakah kita harus menunggu kehilangan terlebih dahulu untuk bisa benar-benar menyadari betapa bernilainya pekerjaan kita ini?

Pengabaian kita terhadap pekerjaan memiliki bobot yang lebih berat dibandingkan dengan pengabaian kita kepada benda-benda kecil seperti lampu senter tadi. Mengapa? Karena kita seringkali menganggap bahwa ’kitalah sang pemilik’ pekerjaan itu. Oleh karena itu, sebagai pemilik kita merasa memiliki segala kewenangan untuk memperlakukan kepemilikan kita itu sesuka hati kita. Padahal, faktanya; ’kita bukanlah pemilik pekerjaan itu’. Perusahaan tempat kita bekerjalah yang memilikinya. Bukan kita. Buktinya, jika perusahaan ingin mengambil kembali pekerjaan yang kita pegang, maka kita dengan sukarela atau terpaksa mesti ’mengembalikan’ pekerjaan itu kepada perusahaan.

Jebakan rasa kepemilikan semu itu menimbulkan otoritas imitatif pada kebanyakan pekerja. Sehingga, mereka mengira boleh bersikap apapun terhadap pekerjaannya. Ya, namanya juga pemilik. Mau melakukan apapun semau-maunya juga boleh saja, bukan? Makanya, begitu banyak orang yang terlambat menyadari bahwa pekerjaannya benar-benar berharga, yaitu ketika mereka kehilangan pekerjaannya. Sebaliknya, ketika mereka masih ’memiliki’ pekerjaan itu, mereka cenderung mengabaikannya.

Salah satu ciri paling umum orang yang seperti itu adalah; mereka tidak sungguh-sungguh menuangkan seluruh potensi dan kapasitas dirinya untuk menghasilkan kinerja terbaik dalam pekerjaannya. Mereka mengira bahwa dengan tidak menggunakan kapasitas dirinya itu, perusahaan yang akan rugi. Padahal, kerugian paling besar dialami oleh dirinya sendiri. Mengapa begitu? Ada 2 alasan. Pertama, dengan tidak mencurahkan seluruh potensi dirinya secara optimal akan memperkuat alasan bagi perusahaan untuk mencari orang lain yang bisa menggantikannya. Kedua, tidak mendayagunakan potensi diri sama artinya menyia-nyiakan anugerah yang telah Tuhan berikan kepadanya. Bukankah Tuhan pun belum tentu suka kepada orang yang menyia-nyiakan anugerahNya?

Ciri lainnya adalah; rendahnya tingkat disiplin kerja mereka. Orang-orang yang percaya bahwa pekerjaannya berharga tidak mungkin mengabaikan disiplin diri dalam bekerja. Sebab, mereka tahu bahwa perusahaan bisa sewaktu-waktu mengambil pekerjaan itu darinya lalu diberikan kepada orang lain yang lebih bisa berdisiplin. Dengan kata lain, mereka tahu bahwa satu-satunya cara untuk mencegah hal itu tidak terjadi adalah; menunjukkan disiplin yang tinggi saat bekerja. Sebaliknya, orang-orang yang lupa betapa berharganya pekerjaannya sering menganggap bahwa disiplin mesti dijalankan jika dan hanya jika dia diawasi. Jika tidak ada yang mengawasi, mengapa mesti berdisiplin tinggi?

Padahal, disiplin adalah urusan pribadi. Karena, kedisiplinan berhubungan langsung dengan integritas diri. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki integritas diri pasti akan menghargai pekerjaannya. Sehingga selama bekerja, dia akan bersungguh-sungguh, dan mengerahkan seluruh potensi dirinya. Untuk mencapai prestasi. Yang tinggi.

Catatan Kaki:
Saat yang tepat untuk menghargai sesuatu adalah pada saat kita masih memilikinya, bukan ketika kita telah kehilangannya.