Search This Blog

Wednesday 23 December 2009

Masih Adakah Dedikasi Disaat Kantor Sepi?

Masih ingat pepatah 'Kucing pergi, tikus menari' ? Jaman sekarang tubuh tikus hampir seukuran kucing, sehingga kucing tidak lagi berselera mengganggu tikus. Tapi, pepatah itu masih relevan hingga kini. Terlebih lagi, jika dikaitkan dengan prinsip kepemimpinan atau leadership, dan kinerja atau performance. Dalam konteks ini, kita bisa menguji kedua hal diatas ketika Umat Islam merayakan Iedul Fitri, atau saat Kaum Kristiani merayakan Natal. Tahukah anda mengapa demikian? Karena, itu adalah saat-saat dimana para atasan dan kolega pergi liburan. Walhasil, suasana kantor menjadi sunyi senyap. Lantas, apakah disaat senyap seperti itu kinerja anda naik dan menjadi lebih baik, atau malah turun menukik?

 

Seorang karyawan terlihat sibuk didepan komputernya dengan tampang yang serius. Mungkinkah dia termasuk karyawan yang sungguh-sungguh dalam bekerja? Kelihatannya sih demikian. Namun, ketika karyawan itu menyadari bahwa atasannya  berdiri tepat dibelakangnya, dan melihat seluruh tampilan dilayar komputernya; mendadak wajah karyawan itu berubah menjadi pucat pasi. Pada kesempatan lain, seorang karyawan buru-buru menutup layar monitor laptopnya ketika boss besar memasuki ruang rapat. Kita tentu mafhum; mengapa seseorang tidak ingin atasannya mengetahui apa yang sedang dilakukannya.

 

Kedua peristiwa yang saya ceritakan diatas bukan kisah rekaan semata. Dan itu sudah cukup menggambarkan betapa banyak orang yang tidak sungguh-sungguh bekerja pada saat seharusnya mereka bekerja. Jika saat para atasan berada dikantor saja banyak karyawan yang tidak sungguh-sungguh bekerja, maka bisa dibayangkan betapa banyak karyawan yang  menyia-nyiakan amanah seperti itu disaat musim libur panjang tiba?

 

Padahal, salah satu ciri karyawan yang baik adalah; bekerja dengan sungguh-sungguh meski tidak seorangpun mengawasinya. Oleh karena itu, kita bisa mengukur apakah kita ini karyawan yang baik atau bukan justru pada saat atasan kita tidak berada di tempat. Dengan kata lain, musim libur panjang seperti Iedul Fitri dan Natal adalah saat yang tepat untuk membuktikan kualitas diri kita sebagai seorang profesional.

 

Sewaktu saya masih kecil, guru mengaji saya menceritakan kisah tentang seorang anak yang tengah menggembalakan kambing yang jumlahnya banyak sekali. Suatu hari seorang lelaki tak dikenal menghampirinya, dan berkata; "Nak, jual satu ekor kambingmu itu kepadaku." Sambil dikeluarkannya uang dari dalam saku.

 

"Maaf  Tuan, kambing-kambing ini bukan milik saya. Jadi tidak akan saya jual." sahut anak itu.

"Sudahlah, Nak. Jumlah kambing itu sangat banyak. Majikanmu tidak akan tahu kalau berkurang satu." Orang itu meyakinkan.

"Benar Tuan. Majikanku tidak akan tahu kalau beberapa ekor kambing yang kugembalakan ini hilang." Sahutnya. "Tetapi Tuan," lanjutnya. "Tuhanku Yang Maha Melihat senantiasa memperhatikan semua yang aku lakukan ketika menggembalakan kambing-kambing ini."

 

Lelaki pendatang itu tertegun sesaat. Lalu memeluknya erat. Dan berkata;"Kamu benar anakku. Tidak ada satu tempatpun dimuka bumi ini yang tidak terlihat oleh Tuhan. Guru ngaji saya mengatakan bahwa lelaki asing itu bernama Umar Bin Khatab. Seorang Khalifah yang gemar menyamar.

 

Hari ini, kita mendapatkan anugerah yang tak ternilai dalam bentuk pekerjaan yang dipercayakan oleh perusahaan. Dan hari ini, kita mendapatkan pengingat dari gembala kecil itu. Karena, bekerja bukan semata-mata untuk menyenangkan majikan. Bekerja adalah sarana pengabdian kepada Tuhan. Sebab, Tuhan telah menganugerahkan begitu banyak potensi melalui kesempurnaan penciptaan diri kita. Sehingga, menyia-nyiakan amanah dari perusahaan, pada hakekatnya menyia-nyiakan anugerah Tuhan.

 

Malu kita seandainya diusia yang sudah dewasa seperti ini masih berprinsip untuk bekerja dengan baik hanya jika ada atasan. Bukan malu karena takut ketahuan atasan. Tapi malu bahwa kita selalu diperhatikan oleh Tuhan. Padahal, Tuhan menyediakan pahala untuk  setiap perbuatan baik yang kita lakukan. Artinya, jika kita bekerja dengan baik, maka bukan hanya gaji dari perusahaan yang kita dapatkan. Melainkan sesuatu yang nilainya lebih tinggi dari itu. Mengapa? Karena, setinggi apapun gaji yang anda terima; belum tentu sepadan dengan pengorbanan yang anda berikan. Sedangkan imbalan dari Tuhan? Tidak pernah lebih sedikit dari usaha yang kita upayakan. Bahkan, karena Tuhan itu Maha Pemurah; maka Dia menyediakan pahala yang berlipat-lipat. Bagi hamba-hambanya yang bekerja dengan tulus ikhlas. Yaitu, orang-orang yang bekerja bukan karena pengawasan orang lain. Melainkan mereka yang mempersembahkan setiap pekerjaan yang dilakukannya sebagai wujud pengabdian kepada Tuhan.

 

Catatan Kaki:

Ikhlas itu bukan bersedia bekerja tanpa imbalan. Melainkan mengharapkan keridoan Tuhan, atas setiap tindakan yang kita lakukan

 

Wednesday 16 December 2009

Google earth siang-siang


Mana yaaaa rumah ku,,,,ada nggak yaaa bekas lapangan tempat main2 dulu...
Begitu mungkin apa yg ada di pikiran mbak Debby begitu tau bisa ngeliat atap rumahnya...!

Monday 14 December 2009

Paku Yang Berserakan Di Jalan

Salah satu ucapan yang tidak terasa sering kita ungkapkan adalah frase ’tidak terasa, ya’. Sehingga, diakhir pekan kita kerap mengatakan; ”Duh, tidak terasa ya, sudah hari jum’at lagi”. Dan diakhir bulan kita mengatakan;”Tidak terasa ya, kok sudah akhir bulan lagi”. Lalu diakhir tahun, kita bilang; ”Tidak terasa ya, sebentar lagi tahun baru.....” Waktu yang didepan seolah terlihat berat untuk dijalani, ternyata ’tidak terasa’ sudah kita lalui tanpa kendala yang berarti. Sekarang, mari diingat lagi; berapa tahun usia anda saat ini? Bukankah kita telah menjalani tahun demi tahun kehidupan kita itu, nyaris ’tidak terasa’ juga?

Kalau sedang berjalan kaki, saya sering menemukan paku di jalan. Demikian pula halnya ketika tengah bersepeda. Kehadiran paku dijalan menarik perhatian saya. Karena, saya merasa bahwa jalan bukanlah tempat dimana paku seharusnya berada. Pernah suatu kali kepalan tangan saya tidak lagi bisa dimuati oleh apapun karena didalamnya terdapat segenggam penuh paku yang saya punguti di jalan yang saya lintasi. Sehingga saya harus menyediakan wadah khusus untuk menampung paku-paku itu. Dalam hati saya berbisik;’seandainya semua paku di seluruh jalan di negeri kita dipunguti, berapa ton paku yang bisa dikumpulkan?’

Mungkin saya agak berlebihan soal ’berapa ton’ itu, kalau diartikan sebagai satuan berat ’seribu kiloan’. Tapi, kalau ’ton’ dalam pengertian satuan jumlah ’seribuan’, saya yakin ungkapan ’berapa ton’ itu tidak berlebihan. Artinya, ada ribuan buah paku yang berserakan di jalan. Ketika saya membayangkan beribu-ribu paku yang menghadang kita dijalan, saya juga membayangkan; betapa ban kendaraan kita berada pada situasi yang sangat kritis saat melintasi jalan-jalan itu. Karena, setiap kali kita melintas, maka ada peluang ban kendaraan kita tertusuk paku-paku itu. Anehnya, mengapa tidak semua kendaraan yang melintasi jalan itu bannya bocor terkena paku? Bahkan, dalam setahun saya lalu lalang disana, belum tentu ban kendaraan saya kena paku barang sekalipun. Padahal kita tahu, disana banyak paku berserakan.

Mengingat itu, hati saya sering menjadi lebih terhibur. Mengapa? Karena, seperti jalanan yang berpaku disana-sini itu; kadang-kadang saya melihat jalan hidup ini juga sedemikian beresikonya untuk dilalui. Resiko kehilangan pekerjaan, resiko ditolak oleh pelanggan, resiko dilecehkan teman, resiko disepelekan atasan, resiko tidak memperoleh pendapatan yang sepadan, resiko kebangkrutan, resiko ini, dan resiko itu. Rasanya, kita tidak perlu memungkiri bahwa semua kemungkinan itu sering membuat hati kita ciut. Namun, membayangkan bahwa setiap hari kendaraan kita melintasi jalan yang berpaku; maka setiap hari kita berpeluang untuk mengalami bocor ban di jalan. Anehnya, kita tidak setiap hari mengalami bocor ban.

Menerima fakta itu membantu hati saya untuk menyadari bahwa; meskipun setiap hari kita melintasi jalan kehidupan yang penuh resiko, tapi ternyata kita tidak selamanya mengalami kejadian ’semengerikan’ itu. Mari kita tengok kebelakang barang sejenak. Lima tahun yang lalu, misalnya, kita tidak bisa membayangkan bagaimana caranya menjalani kehidupan selama lima tahun kedepan. Namun, kenyataannya adalah; kita sudah menjalani waktu lima tahun terakhir ini hingga saat ini, dengan ’tanpa terasa’. Hebatnya lagi, ternyata kita baik-baik saja.

Sekarang, mari kita berdiri disebuah titik yang kita sebut sebagai ’saat ini’, lalu memandang jauh kemasa depan. Apakah kita merasakan kegalauan itu? Kita galau karena tidak ada kepastian akan masa depan kita. Tetapi, mari kita tengok beberapa tahun lalu ke belakang ketika kita merasakan kegalauan yang sama. Kita bisa sampai di titik ini, dengan selamat. Oleh karena itu, meski saat ini kita didera galau yang sama ketika memandang masa depan; semoga kita masih memiliki kekuatan untuk meyakini bahwa kita akan berhasil melewati masa depan itu seperti halnya kita telah berhasil melampaui masa lalu kita.

Ngomong-ngomong, menurut pendapat anda; mengapa ban mobil kita jarang bocor meskipun setiap hari melintasi jalan yang berpaku? Mungkinkah itu karena Tuhan melindungi agar ban mobil kita tidak terlampau sering terkena paku? Kalau begitu, menurut pendapat anda; mengapa hidup kita jarang bahkan tidak pernah mengalami peristiwa mengerikan, meskipun setiap saat kita melintasi jalan hidup yang berpeluang untuk mengalami peristiwa-peristiwa mengerikan? Mungkinkah itu karena Tuhan tiada henti-hentinya menjaga diri kita agar tidak mengalami hal-hal mengerikan yang melampaui batas kemampuan kita?

Lebih dari itu, Tuhan telah menjagakan kita agar tidak semua peluang tak menyenangkan itu benar-benar menjadi kenyataan. Memang, kita menghadapi begitu banyak peluang buruk yang tidak kita sukai. Namun, Tuhan telah menebarkan peluang baik jauh lebih banyak dari hal-hal buruk yang mungkin menimpa diri kita. Dan itu cukup untuk membuktikan bahwa sebenarnya Tuhan berpihak kepada kita. Sebab, ketika Dia memberi peluang baik lebih banyak dari peluang buruk, maka sesungguhnya Dia ingin agar kita berkesempatan untuk mendapatkan peluang baik itu.

Jika sampai sekarang hidup kita baik-baik saja; tidak berarti bahwa kita tidak pernah mengalami cobaan, bukan? Kita mengalami banyak cobaan, namun sejauh ini semua cobaan itu masih dalam batas-batas kemampuan kita. Ini cocok dengan penjelasan guru ngaji saya bahwa; ”Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada seseorang, melainkan dalam batas kemampuan dirinya.”

Peluang buruk itu seperti paku yang berserakan dijalan. Jika kita memilih untuk memarkir kendaraan dirumah karena khawatir bannya akan kempes tertusuk paku yang berserakan; maka kita tidak akan pergi kemana-mana. Sebaliknya, jika kita bersedia mengambil resiko itu, maka kita akan mengeluarkan kendaraan dari garasi. Lalu kita melintasi jalan yang seharusnya kita lalui. Meskipun itu berarti bahwa kita menghadapi resiko ban bocor. Namun, kenyataannya ban kita tidak terlampau sering bocor. Bahkan, sekalipun kita melintasi jalan berpaku setiap hari.

Barangkali, jalan hidup kita juga memang demikian. Meskipun banyak resiko yang kita hadapi saat melintasinya; namun, tampaknya kita akan baik-baik saja saat menjalaninya setiap hari. Sehingga, memilih untuk menyingsingkan lengan baju lalu bangkit berdiri, kemudian melangkah menjalani hidup ini; adalah pilihan yang jauh lebih baik daripada menyerah dan berdiam diri. Sebab, saat kita menyerah; kita melewatkan beribu kesempatan dan kemungkinan untuk memperoleh anugerah yang kita sendiri tidak pernah tahu sebesar apa. Sebaliknya, saat kita berserah diri kepada keberpihakan Tuhan terhadap kesuksesan kita, lalu kita memohon ijin kepada-Nya untuk berikhtiar; maka kita memiliki harapan untuk berhasil melintasi perjalanan hidup ini dengan baik. Dan, tanpa terasa; kita bisa tiba diakhir perjalanan yang telah Tuhan tentukan untuk kita. Lalu saat itu kita boleh kerkata; ”Tuhan, telah kutunaikan seluruh panggilan-Mu. Dengan segala kurang dan lebihku. Dan kini, ijinkan aku untuk menyerahkan penilaian akhir kepada-Mu....”


Catatan Kaki:
Sepertiga dari kengerian yang terpampang dimasa depan adalah ilusi kita. Sepertiganya lagi adalah alat untuk meningkatkan ketangguhan kita. Dan sepertiganya lagi adalah pengingat agar kita tidak terlampau sombong dihadapan Tuhan.

Sudahkah Anda Menemukan Garis Horison Kehidupan?

Dari jaman dahulu kala, konon profesi sebagai peramal merupakan salah satu profesi paling laris. Apalagi kemajuan teknologi komunikasi saat ini memungkinkan para peramal untuk mempromosikan diri, sehingga minat orang menjadi semakin terbangkitkan. Mengapa kita sedemikian tertariknya pada ramalan? Karena kita sering penasaran dengan apa yang akan terjadi dimasa depan. Mengapa kita penasaran akan masa depan? Karena kita ragu bahwa masa depan kita akan baik-baik saja. Sebab, jika kita yakin bahwa masa depan kita akan berjalan mulus, kita tidak perlu was-was atas apa yang akan kita alami dimasa mendatang. Sekalipun kita tidak pergi ke peramal, tetap saja hati kita diliputi oleh kekhawatiran; akankah masa depan kita berjalan sesuai dengan harapan?

Minggu lalu, saya berkesempatan melihat garis horison dipinggir pantai. Anda tentu masih ingat dengan ’garis horison’, bukan? Garis mendatar yang seolah-olah menjadi pembatas antara bumi dengan langit. Jaman dahulu kala, garis horison disalahartikan sebagai ujung dunia, sehingga jika kita bergerak melewati garis itu, maka kita akan terjatuh ke jurang. Memandang jauh ke tengah laut seolah memandang jauh ke masa depan. Sehingga, dengan pola pikir seperti itu, kita sering beranggapan bahwa hidup kita hanya akan baik-baik saja sampai kita tiba di ’garis ujung’ itu. Dan karena ’garis ujung’ itu adalah batas kemampuan pandangan kita, maka ketika kita memandang hidup; kita sering khawatir atas apa yang akan terjadi ’setelah garis ujung’ itu terlampaui.

Setelah kita memahami bahwa bumi ini bulat, kita tahu bahwa garis horison bukanlah ujung dunia seperti yang kita duga. Jadi, jika kita bergerak melewati garis horison itu, kita tidak akan terjatuh. Kita bisa terus bergerak maju dengan aman dan leluasa. Selain itu, ketika kita menggunakan perahu motor menuju ke tengah laut, kita tidak benar-benar ’tiba’ di garis horison itu. Segigih apapun kita mengejar garis horison itu, tidak akan mampu untuk ’menangkapnya’. Sebab, setiap kali kita bergerak mendekat kepadanya, setiap kali itu pula dia bergerak menjauh.

Jangan-jangan, hidup juga demikian. Apa yang kita kira sebagai garis ujung dunia, ternyata bukanlah ujung dunia yang sesungguhnya. Melainkan hanyalah titik maksimal daya pandang kita. Karena itu, apa yang kita kira sebagai garis ujung optimisme kehidupan itu bukanlah ujung optimisme hidup yang sesungguhnya. Sebab setelah kita mencapai ’batas’ yang kita lihat itu, kita bisa menemukan wilayah lain yang terbentang diantara diri kita, dengan garis horison baru. Walhasil, boleh jadi kesempatan yang kita miliki dalam hidup itu tidaklah sebatas dari ’apa yang bisa kita lihat’ dari titik tempat kita berdiri ini. Sebab, dibelakang garis horison itu; terhampar kesempatan lain yang begitu luas.

Garis horison, adalah pembatas antara wilayah yang bisa kita lihat, dengan wilayah yang tidak bisa kita lihat. Kita dapat dengan leluasa menjelajah wilayah yang bisa kita lihat. Dan kalau kita bergerak mendekati garis horison itu, maka kita akan mampu untuk melihat wilayah lain yang sebelumnya tidak terlihat. Barangkali, hidup kita juga demikian. Meskipun kita sering dibatasi oleh sempitnya daya pandang kita; namun, ketika kita menjalani hidup ini dengan sungguh-sungguh. Lalu kita bergerak maju untuk mengeksplorasi inci-demi inci wilayah itu. Ternyata, garis batas itu tidak benar-benar ada. Walhasil, ketika kita secara konsisten bergerak maju menjalani hidup; hidup kita sama sekali tidak dibatasi oleh garis horison itu. Karena, ketika kita mendekatinya, sang garis bergeser menjauh. Seolah dia memberikan ruang yang lebih luas lagi kepada kita. Untuk terus menjelajah, tanpa mengenal lelah.

Bayangkan seandainya ketakutan kita akan keterbatasan pandangan itu menjadikan kita terdiam. Maka, jangkauan kita tidak akan pernah bertambah. Bahkan mungkin, kita akan dikurung oleh pesimisme dan ketakutan-ketakuan semu. Sebaliknya, jika kita bersedia menjalani hidup ini dengan keyakinan bahwa dunia kita sangatlah luas, maka bukan saja kita akan terbebas dari rasa was-was atas keserbaterbatasan yang ada. Lebih dari itu, kita bisa bersahabat. Bermain. Dan bercengkrama dengan garis horison itu. Ketika kita mengejarnya, dia akan berlari. Sehingga, tanpa kita sadari, kita sudah menjelajah jauh sekali. Dan dititik ini, kita akan menemukan; betapa rahmat Tuhan itu terhampar dengan teramat sangat luas. Dan semoga kiranya Dia, gembira melihat kita yang dengan sukacita bersedia menjalani fitrahnya.

Catatan Kaki:
Dengan selera humornya yang tinggi, garis horison menyembunyikan masa depan kita dibelakangnya; sebagai teka-teki untuk terus-menerus dieksplorasi

Apakah Hidup Anda Diliputi Oleh Keberuntungan?

Sudah sejak lama orang tua kita percaya bahwa kehidupan kita diliputi oleh keberuntungan. Itulah sebabnya, kita selalu mengatakan ’untung...,’ sekalipun kita baru saja mengalami sebuah musibah. Selama ini, kedalam diri kita sudah ditanamkan sebuah sikap untuk selalu melihat segala situasi dari sisi positifnya. Sehingga, dalam situasi apapun kita masih merasakan betapa beruntungnya diri kita. Jika demikian, apakah sumpah serapah atau rasa syukur yang lebih layak untuk diungkapkan?

Ketika saya masih kecil, rumah kediaman kami dilalap api, hingga seluruhnya berubah menjadi abu. Ayah dan Ibu saya bilang; ”Untung kita semua selamat,”. Sampai sekarang saya masih teringat dengan kobaran api itu. Dan setiap kali mengenangnya; saya juga teringat kata-kata Ayah-Ibu saya tentang keberuntungan itu.

Ketika sudah bisa berenang di sungai, saya tenggelam. Air deras menyeret tubuh saya hingga tersangkut disela-sela pintu penahan air di bendungan. Sampai sekarang saya masih ingat betapa beruntungnya saya karena ada rongga udara yang terbentuk antara lempengan pintu irigasi dengan titik jatuh air sehingga melalui rongga itu saya bisa bernafas sampai orang-orang berhasil menemukan saya.

Ketika beranjak remaja, gejolak muda mendorong saya untuk pergi ke Gunung Tangkuban Perahu dan membiarkan diri saya menginap disana. Bermalam di gunung sama sekali bukanlah masalah. Tetapi, melakukannya sendirian dialam liar tanpa perlengkapan apapun; kedengarannya bukan gagasan yang cerdas. Sampai saat ini saya masih mengenang betapa beruntungnya saya karena bisa selamat melalui malam yang mengerikan itu.

Kemarin malam, saya melakukan beberapa permainan kecil dengan anak-anak. Setelah melalui tahap tertawa dan melompat-lompat yang seru, saya berencana untuk melakukan sesuatu yang lain. Kali ini saya membutuhkan sebuah media yang harus dipotong-potong. Maka saya mengambil cutter kecil. Ketika memotong media itu, entah kenapa ujung cutter tergelincir dan patah hingga melukai pangkal jari tangan saya, persis dibagian yang banyak urat-urat kecilnya. Darah segar segera mengalir. Dan secara spontan saya berkata dalam hati;’Untung tidak sampai memutuskan urat-uratnya.” Saya kira masalah akan terhenti sampai disana. Ternyata saya keliru.

Sebelum sempat memberi tahu orang lain bahwa tangan saya terluka, anak lelaki kecil saya yang tengah berada dipuncak rasa senang berlari kearah saya. Lalu tanpa disadari dia merebut cutter itu dari genggaman saya. Maka secara spontan saya berteriak; ”Abang, ayah pegang pisau tajam, jangan merebutnya. BAHAYA!” tapi terlambat. Dia sudah terlanjur melakukannya. Ketika itu, saya merasakan segalanya seolah berjalan dalam gerak lambat. Semua kengerian itu seolah menancap dalam pikiran saya. Mulai dari ujung cutter yang tergelincir. Lalu dia patah merobek pangkal jari tangan saya. Urat-urat yang terlihat. Darah segar yang mengalir. Rasa perih yang menyayat. Dan..., tangan-tangan kecil polos yang merebut gagang cutter mengira mainan terbuat dari plastik.

Pikiran saya secepat kilat membayangkan luka macam apa yang bisa dialami oleh anak saya. Namun, ajaib sekali; tangannya tidak apa-apa. Lalu saya melihat gagang pisau cutter kecil itu. Ternyata, memang semua bagian pisaunya sudah patah tadi ketika saya memotong media permainan itu. Sekarang, saya merasa sangat beruntung karena pisau tajamnya sudah patah. Jika tadi pisau itu tidak patah, dan tanpa bisa dihindari anak lelaki kecil saya yang antusias itu merebutnya dari tangan saya; maka boleh jadi tangannya akan terluka parah. Sekarang saya tahu, betapa beruntungnya kami.....

Jika anda merasa saya sedang memamerkan keberuntungan-keberuntungan yang pernah saya alami dalam hidup, semoga anda berkenan mengubah prasangka itu. Sebab, kalaupun saya berniat untuk pamer, maka tidaklah mungkin saya bisa menceritakan satu demi satu keberuntungan itu. Sebab, kita semua tanpa henti-hentinya mendapatkan keberuntungan hidup yang sedemikian banyaknya sehingga kita tidak mungkin mampu bahkan untuk sekedar menyebutkannya satu persatu. Seperti firman Tuhan yang pernah diajarkan oleh guru ngaji saya, bahwa;”Jika engkau menghitung nikmat yang Tuhan berikan kepadamu, niscaya kamu tidak akan bisa menghitungnya....”

Tapi, jika benar nikmat Tuhan itu sedemikian banyaknya; mengapa kehidupan kita sering tidak beranjak ke tingkat yang kita impikan? Mungkin karena kita selalu mengimpikan kehidupan materialis. Kita terlampau sering mengukur kenikmatan dari jumlah uang yang kita dapatkan. Dari kekayaan yang kita kumpulkan. Dari kedudukan yang bisa kita banggakan. Dan dari jubah nama besar yang kita kenakan. Padahal, ternyata keberuntungan kita bisa menjelma dalam bentuk lain yang sering kita abaikan. Kesehatan kita. Kesempurnaan penciptaan tubuh kita. Terbebasnya kita dari perasaan tertekan. Rasa tenang kita. Tidur nyenyak kita. Pekerjaan dan gaji rutin yang kita terima. Dan semua hal lain yang jumlahnya tiada terhingga. Namun, karena kita kurang mensyukurinya; maka kita sering lupa bahwa semua itu adalah wujud keberuntungan hidup yang Tuhan anugerahkan kepada kita.

Memang benar bahwa ’sudut pandang’ kita menentukan apakah kita bisa menemukan hikmah dibalik setiap kejadian atau tidak. Namun, saya meyakini bahwa keberuntungan sama sekali bukan soal sudut pandang; melainkan soal kesadaran. Kita perlu lebih sadar bahwa Tuhan menginginkan kehidupan kita baik. Bahkan Tuhan tetap ingin agar hidup kita baik sekalipun kita sering mengambil langkah dan keputusan-keputusan yang bodoh. Hanya saja, kita sering tidak menyadari semua kebaikan Tuhan selama ini. Sehingga, kita sering berburuk sangka kepada-Nya. Kita mengira bahwa Dia memberi orang lain lebih banyak nikmat, daripada yang diberikan-Nya kepada kita. Padahal, boleh jadi kenikmatan yang sesungguhnya terletak pada hati nurani kita. Bukan pada benda atau atribut-atribut yang kita lekatkan pada tubuh kita. Jika kita berhasil menemukan tak berhingga kenikmatan didalam hati kita; mungkin kita bisa lebih sadar akan betapa beruntungnya diri kita. Karena ternyata. Kehidupan kita. Diliputi. Oleh keberuntungan.

Catatan Kaki:
Betapa banyak kebodohan yang sudah kita buat. Namun, Tuhan selalu bersedia untuk menutupinya dengan begitu banyak keberuntungan yang bisa kita dapat.

Sunday 13 December 2009

Menyelami samudera kehidupan kita

Kengerian macam apa yang membayangi anda ketika berhadapan dengan laut lepas? Seandainya anda kecebur laut yang penuh ombak itu, kira-kira nasib apa yang akan anda alami? Jangankan kecebur laut, mendengar debur ombaknya saja rasanya sudah menggetarkan, bukan? Saat membayangkan betapa luas dan dalamnya lautan, kita sering dihantui oleh pikiran-pikiran yang menyeramkan. Takut diserang ikan hiu. Takut tenggelam ditelan gelombang. Dan beragam macam ketakutan lainnya yang membuat hati kita ciut. Lalu, ingatkah anda bahwa selain untuk menggambarkan laut luas, kita juga menggunakan kata ’Samudera’ untuk menggambarkan betapa luas dan misteriusnya kehidupan kita? Kita menyebutnya ’samudera kehidupan’. Jika demikian, apakah hati kita juga diliputi kengerian saat membayangkan betapa luas dan dalamnya samudera kehidupan ini?

Semua kengerian tentang laut benar-benar membanjiri hati istri saya ketika dia telah mengenakan pakaian khusus penyelam. Maklum, ini adalah penyelaman pertama yang dilakukannya. Tetapi, kami meyakinkan dirinya bahwa dibawah sana ada keindahan yang dihamparkan Tuhan bagi mereka yang bersedia untuk menyelaminya. Keindahan yang tidak pernah bisa kita tatap dari permukaan air laut yang penuh gelombang dan tamparan ombak beriak-riak. Keindahan yang hanya bisa kita nikmati, jika kita bersedia untuk menceburkan diri, dan menyibakkan kengerian yang menyelimutinya.

”Embaknya kok tegang begitu?” goda instruktur diving yang memandu kami. ”Tenang saja,Mbak,” katanya lagi. Sembari sekali lagi dia meyakinkan bahwa diving itu adalah kegiatan yang sangat aman. Saya memegang erat tangan istri saya untuk mengurangi kecemasan yang mengganggunya. Bagaimanapun juga, untuk ukuran orang yang pertama kali diving, prestasi istri saya layak diacungi jempol. Gemetaran sedikit masih bisa dimaklumi.

”Takut ya?” tiba-tiba saja penyakit iseng saya kambuh. Istri saya hanya mencibir sambil menambah kencang pegangan tangannya ketika boat yang membawa kami meluncur semakin jauh ke tengah laut. Dan ketika tiba saatnya untuk menyelam, tidak ada lagi kesempatan untuk berpegangan tangan dengan saya. Sehingga dia harus benar-benar percaya bahwa dia bisa menyelam bukan hanya sekedar aman, tetapi juga menyenangkan. Didalam air, saya tidak melihat ketegangan menyelimuti dirinya. Mungkin beragam ikan warna-warni yang mengerubutinya telah memakan habis ketegangan itu. Meski tanpa kata, saya bisa merasakan bahwa istri saya sangat menikmatinya. Sampai-sampai kantong plastik berisi roti yang menjadi umpan ikan terlepas dari tangannya. Seekor ikan besar menyambar dan membawanya pergi. Untung instrukturnya berbaik hati memberikan umpan miliknya sehingga istri saya masih bisa merayu ikan-ikan itu untuk datang mendekat.

Setelah penyelaman itu, sama sekali tidak terlihat ketegangan yang sebelumnya saya baca diseluruh tubuhnya. Yang ada hanya tawa dan cerita ini itu tentang pengalaman menakjubkan yang baru saja didapatkannya. Terlebih lagi tentang ikan besar yang memiliki dua gigi menonjol dimulutnya. Istri saya bilang, ikan itu cantik. Bahkan dia mengatakan kalau ikan itu seperti memiliki alis mata yang diukir. Juga tentang pesona ikan- ikan yang cantik seolah mengenakan kosmetik. Serta sejuta kisah lainnya dalam penyelaman itu. Diam-diam, saya bertanya pada diri sendiri;”pergi kemana semua kengerian yang pernah menakuti dirinya?”

Tiba-tiba saja, saya jadi teringat akan Samudera Kehidupan kita. Mengingat betapa luasnya ia, kita sering ngeri dibuatnya. Kita sering dibayangi oleh ketakutan akan ada hal-hal mengerikan dalam hidup kita, seperti kita takut akan ada hiu yang siap menyerang. Mengingat betapa misteriusnya dia, kita sering khawatir atas apa yang akan terjadi esok. Mengingat betapa penuh teka-tekinya dia, kita sering tidak berani melakukan sesuatu untuk menemukan keindahan hidup yang sesungguhnya. Seperti ketakutan yang menyelimuti hati istri saya ketika dia harus terjun ke laut lepas. Padahal, seandainya dia memutuskan untuk tidak melakukannya, maka dia tidak akan pernah bisa bercerita tentang alis mata ikan-ikan yang memanjakannya itu.

Ketika membayangkan untuk terjun ke laut, istri saya begitu takut. Namun, setelah menyelam kedalamnya, dia seolah enggan untuk kembali ke perahu. Karena ternyata, didalam laut yang membuat kita takut itu, terdapat keindahan yang tiada terlukiskan. Ketika membayangkan untuk terjun kedalam samudera kehidupan, kita sering begitu takut. Kita takut tidak bisa menyelam didalamnya. Kita takut terseret gelombangnya. Kemudian tenggelam. Dan tidak bisa kembali ke permukaan. Padahal, boleh jadi; dikedalaman samudera kehidupan kita yang penuh misteri itulah keindahan hidup kita tersimpan. Sebab, seperti kita memandang lautan dari atas; kita hanya mampu melihat deburan ombak dan hamparan gelombang. Kita sama sekali tidak bisa melihat keindahan yang mereka sembunyikan dibawahnya. Demikian pula halnya dengan hidup kita. Jika kita hanya berani memandang permukannya saja; mungkin kita hanya bisa melihat gelombang-gelombang yang mendebarkan. Kita sama sekali tidak bisa melihat apa yang disembunyikan didalam gelombang kehidupan itu, jika kita tidak bersedia untuk masuk kedalamnya.

Sungguh, laut itu indah. Namun, keindahan sesungguhnya hanya bisa kita temukan ketika kita menyelam masuk kedalamnya. Sungguh, hidup ini indah. Namun, boleh jadi keindahan hidup sesungguhnya hanya bisa kita temukan ketika kita bersedia benar-benar menceburkan diri kedalam kehidupan itu sendiri. Sebab, seperti apa yang kita alami sewaktu menyelam. Pemandangan didalam air, sungguh sangat berbeda dari apa yang terlihat dipermukaan. Oleh karena itu, untuk menemukan keindahan sesungguhnya dari hidup ini, barangkali; tidaklah cukup hanya dengan melihat dan menjelajahnya dipermukaan saja. Barangkali, kita harus bersedia ’menahan nafas’ lalu terjun kedalam. Meskipun beresiko. Sekalipun pada awalnya tidak nyaman. Namun, ketika kita sudah sampai kedalam, kita akan menemukan sejatinya sebuah keindahan. Dan begitu kita berhasil menemukannya, kita menjadi tahu bahwa keindahan itu tidak bisa didapatkan jika kita bersikukuh untuk tetap tinggal dipermukaan.


Catatan Kaki:
Kita sering menilai hidup ini dari tampak luarnya yang penuh dengan gelombang. Padahal seperti laut, keindahan sesungguhnya dalam hidup akan ditemukan ketika kita bersedia menyelaminya.

Kemana Lift Kehidupan Kita menuju..?

Kita semua tentu mengenal lift. Dengan alat itu kita bisa naik atau turun tingkat pada sebuah gedung tinggi. Jika kita ingin naik, tinggal menekan tombol naik; lalu lift membawa badan kita naik. Jika kita ingin turun, tinggal pencet tombol turun; lalu lift itu dengan patuh membawa tubuh kita turun. Secara kasat mata, lift membawa kita naik atau turun. Namun, apakah lift juga bisa membawa ‘diri’ kita menuju ke tingkat yang kita inginkan?

Saya pernah berkantor di sebuah gedung perkantoran yang langka di jantung kota Jakarta. Gedung itu bernama GKBI yang letaknya persis diseputaran jembatan Semanggi. Mengapa saya sebut langka, karena gedung itu memiliki lift yang unik. Pada kebanyakan gedung bertingkat lain, jika kita ingin menuju ke lantai tertentu, kita cukup menekan tombol up atau down saja. Jika ada orang lain yang sudah menekan tombol itu, maka kita tidak usah bersusah repot lagi untuk menekannya. Istilahnya, kita bisa nebeng kepada usaha orang lain, untuk tiba di tingkat yang kita inginkan. Ketika salah satu pintu lift akan terbuka. Lalu kita memasukinya. Didalam lift itu, barulah kita menekan tombol nomor lantai yang hendak kita tuju. Jika ada orang lain yang sudah menekan ke lantai yang kita ingin tuju, kita boleh berdiam diri saja. Kita sebut saja system seperti ini sebagai lift konvensional.

Di gedung GKBI tidak bisa begitu. Karena untuk menuju ke lantai tertentu kita harus ‘terlebih dahulu’ menekan nomor lantai yang kita inginkan secara digital ‘diluar lift’. Setelah itu, sistem canggih tersebut memilihkan untuk kita lift mana yang akan membawa kita ke lantai yang kita inginkan. Contohnya, kita menekan angka 1 dan 0 untuk menuju ke lantai 10. Maka sistem itu akan mengarahkan kita kepada lift P, misalnya. Dan itu berarti bahwa kita harus menggunakan lift P untuk bisa sampai ke tempat yang akan dituju.

Ketika pintu lift yang bukan P terbuka, maka kita diam saja. Sekalipun lift itu masih kosong. Sekalipun kita sedang terburu-buru, kita tetap tidak memasukinya. Mengapa? Karena lift itu tidak akan membawa kita ke Lt 10 yang kita tuju. Dan karenanya kita akan tetap fokus kepada lift P. Dan kita hanya akan memasuki lift P, seperti niat kita semula. Ketika pintu lift P terbuka, kita memasukinya tanpa harus menekan apapun lagi. Karena, lift itu akan membawa kita ke lantai 10 yang kita pilih diawal tadi. Saya menyebutnya lift kontemporer.

Lift konvensional versus lift kontemporer. Di lift konvensional, kita boleh saja menyerahkan tujuan hidup kita kepada arus yang diciptakan oleh orang lain. Kita boleh ikut orang lain yang sudah terlebih dahulu menekan tombol. Tidak masalah apakah tujuan orang itu sama dengan tujuan kita atau tidak. Begitu tombol up atau down ditekan oleh orang lain, maka kita tinggal mengikuti arusnya saja.

Di lift kontemporer, kita tidak bisa lagi melakukan hal itu. Artinya, kita tidak bisa mengikuti saja apa yang orang lain lakukan dengan lift itu tanpa tahu tujuannya terlebih dahulu. Kita boleh mengikuti orang itu, hanya jika kita tahu persis bahwa tujuan orang itu adalah lantai yang sama dengan yang ingin kita tuju. Anda tidak boleh mengikuti orang lain jika tujuannya berbeda dengan Anda. Bahkan, Anda pun tidak boleh mengikuti orang lain dan menyerahkan tujuan Anda kepada orang lain yang Anda tidak tahu apakah tujuannya sama dengan Anda atau tidak.

Lift konvensional versus lift kontemporer. Di lift konvensional, kita tidak perlu merencanakan, kemana kita akan pergi. Di lift kontemporer, kita harus merencanakan, kemana kita akan pergi. Sebab, jika kita tidak merencanakan kepergian kita, maka begitu memasuki lift kontemporer ini, kita akan langsung tersesat. Sebab, lift itu tidak membawa kita ke tempat yang ingin kita tuju. Melainkan tempat antah berantah yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Jika lantai yang ingin kita tuju itu adalah ‘tujuan hidup’ kita. Dan jika kehidupan kita ini adalah sebuah lift yang akan membawa kita kepada tujuan hidup yang ingin kita capai itu, maka kiranya layak jika kita mengajukan 3 pertanyaan ini:

Pertama, “Apakah kita bisa mengandalkan dan menyandarkan diri kepada orang lain yang belum jelas kemana arah tujuannya?”

Kedua, “Apakah kita bisa memasuki pintu lift peristiwa kehidupan mana saja, yang tidak jelas ke lantai kehidupan mana dia akan menuju?”

Ketiga, “Apakah kita bisa membiarkan diri kita dibawa oleh lift kehidupan itu tanpa harus menentukan terlebih dahulu, lantai dimana tujuan kehidupan kita didefinisikan?”

Kita tidak selama-lamanya berhadapan dengan lift kehidupan konvensional hingga kita boleh saja menyerahkan seluruh kepentingan hidup dan tujuan hidup kita kepada orang lain yang sudah terlebih dahulu men-set lift itu. Sebab, ada kalanya kita berhadapan dengan lift kehidupan kontemporer. Sehingga kita harus benar-benar melakukan sendiri, dan menentukan sendiri; tujuan yang ingin kita capai dalam hidup kita.

Kita tidak selama-lamanya berhadapan dengan lift konvensional hingga kita boleh saja memasuki lift kehidupan manapun yang terbuka lebih dahulu. Sebab, ada kalanya kita berhadapan dengan lift kehidupan kontemporer. Sehingga kita harus benar-benar fokus, hanya kepada lift kehidupan yang akan membawa kita kepada tempat tujuan yang sudah kita rencanakan saja.

Kita tidak selama-lamanya berhadapan dengan lift kehidupan konvensional hingga boleh-boleh saja jika kita tidak menekan dan merencanakan tombol tujuan kehidupan sebelum memulai perjalanan ini. Karena didalam lift kehidupan konvensional, ‘akan ada kesempatan’ untuk menekan tombol itu. Nanti didalam lift. Namun, ada kalanya kita berhadapan dengan lift kehidupan kontemporer. Sehingga untuk bisa sampai kepada tujuan hidup yang kita inginkan; kita harus memulainya dengan merencanakannya terlebih dahulu. Sebab, didalam lift kehidupan kontemporer ‘tidak akan ada lagi kesempatan’ untuk menekan tombol itu. Semuanya serba terlambat. Dan kita akan segera tersesat.

Namun demikian, lift kehidupan konvensional dan lift kehidupan kontemporer memberi kita inspirasi untuk menentukan; kapan saatnya kita boleh mengikuti arus yang dibuat oleh orang lain. Dan kapan saatnya untuk mengandalkan kemampuan diri kita sendiri.

Catatan Kaki:
Kita tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa tak satupun dari pencapaian yang kita raih tanpa campur tangan orang lain. Namun, tidaklah masuk akal jika kita menyerahkan arah masa depan kita kepada orang lain.