Search This Blog

Thursday 25 June 2009

Ketika Derita Mengabadikan Cinta


"Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh Hasan Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan Dikrektur Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai. Kepada Professor dipersilahkan. .."

Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan resepsi pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai Nil, Kairo.

Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nanti mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering nongol di televisi itu.

Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkah menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa. Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang ilmuan berbobot. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yang tegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsung shoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang kacamatanya, lalu...

Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu'ala Rasulillah, amma ba'du. Sebelumnya saya mohon ma'af , saya tidak bisa memberi nasihat lazimnya para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita...
Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya, mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah mutiaranya dan buanglah lumpurnya.

Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.


Tiga puluh tahun yang lalu ...
Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan "Pasha" yang terhormat di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga aristokrat terkemuka di Ma'adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan Sorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik di negeri ini.

Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat. Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat atau kalangan high class yang sepadan!

Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya cari. Saya lebih merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman dari kalangan bawah yang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka menganggap saya ceroboh dan tidak bisa menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang yang selalu basah keringat dalam mencari pengganjal perut dianggap memalukan keluarga. Namun saya tidak peduli.

Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu mampu mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke luar negri, ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika berlibur di dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza yang berdekatan dengan istana Raja Faruq.

Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil biasa saja, agar lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para dosen. Tetapi beliau menolak mentah-mentah.

"Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja" tegas ayah.

Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati, saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.

Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuh pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya.

Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakultas. Maka datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus.

Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu, dan saudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus.


Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan membanting gelas yang ada di dekatnya.. Bahkan beliau mengultimatum: Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!

Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak terkira.

Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang cukur....tukang cukur, ya... sekali lagi tukang cukur! Saya katakan dengan bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak dilakukan para bangsawan "Pasha". Lewat tangannya ia lahirkan tiga dokter, seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun dia sama sekali tidak mengecap bangku pendidikan.

Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri sendiri, tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya membawa pacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah ibu langsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya sebesar 500 ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak direstui, sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina, bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili pacarnya yang entah yang ke berapa di luar akad nikah malah direstui dan diberi fasilitas maha besar? Dengan enteng ayah menjawab. "Karena kamu memilih pasangan hidup dari strata yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacar adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga besar Al Ganzouri."


Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah saya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat sudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang jelas berzina justru difasilitasi.

Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini kebenarannya. Itu saja.

Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-mentah untuk mengawinkan putrinya dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad menikah dengan saya.

Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak pernikahan ini terjadi karena alasan status sosial , sedangkan keluarga dia menolak karena alasan membela kehormatan.

Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?

Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantor ma'dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat karibku. Kami berikan identitas kami dan kami minta ma'dzun untuk melaksanakan akad nikah kami secara syari'ah mengikuti mahzab imam Hanafi.  Ketika Ma'dzun menuntun saya, "Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan mahar yang kita sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam Abu Hanifah."

Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata 3 sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah itu. Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah di mata Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.  Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Begitu mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah. Mobil dan segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uang sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayar ongkos akad nikah di kantor ma'dzun.

Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih tragis lagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak 2 pound, tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!

Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua bertemu di jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsara campur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasa berdaya dan hidup menjalari sukma kami.
"Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini. Maafkan Kanda!"
"Tidak... Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telah berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisa menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini.  Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama kanda tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan buktikan kepada mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kita berikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru.


Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita kita saat ini," jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.

Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan dan uang sebanyak 40 pound.

Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisa uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam.

Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50 pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yang murah.

Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan kembali bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengarunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.

Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasil menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagi kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan mereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami.

Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jika seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagai mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedang membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk 3 bulan.

Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu kami pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari sebuah kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kursi dan satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah, itu saja... tak lebih.

Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa tetap bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta.  Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah untuk memberikan gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di surga. Jika percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat dari semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan. Yang paling nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga , saat Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhak menikmati indahnya wajah Allah SWT.

Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak memperoleh segala cinta di surga.  Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus mendekatkan diri kepada-Nya.

Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur'an, lalu memakai jilbab, dan tiada putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi'ah Adawiyah yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang ia adalah dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk hidup berdua tanpa bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia juga seorang wanita yang pandai mengatur keuangan. Uang sewa sebanyak 25 poud yang tersisa setelah membayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama sebulan.

Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kamipun mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada yang bilang tanpa disengaja,"Ah, kami kira para dokter itu pasti kaya semua, ternyata ada juga yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya."


Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil layaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri agar menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami memang dokter yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan- pertolongan mereka.

Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkan mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.

Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor dan didobrak oleh 4 bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitu juga dengan kursi. Kasur tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan ancaman, "Kalian tak akan hidup tenang, karena berani menentang Tuan Pasha."

Yang mereka maksudkan dengan Tuan "Pasha" adalah ayah saya yang kala itu pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat bajingan itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami tata kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang berserakan, kami masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang sobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja dan kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup ini.

Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancang skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tuna susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapak kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.

Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak mengurungkan niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku berhasil memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.

Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil meminta beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku. Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.

Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidak ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai. Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan isteri tercinta.

Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan hamba-hamba- Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah SWT.

Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepada kekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan.. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia & lepas dari belenggu derita:

Sambil menatap kaki langit
Kukatakan kepadanya
Di sana... di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba
Bukan karna ketiadaan kata-kata
Tapi karena kupu-kupu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku... besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung

Yah... saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapa dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras untuk masuk program Magister bersama!

"Gila... ide gila!!!" pikirku saat itu. Bagaimana tidak...ini adalah saat paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai dokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidak berperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh untuk meraih gelar Magister dan menjawab logika yang saya tolak:

"Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat tawaran dari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita rengguk sum-sum penderitaan ini. Kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita wujudkan mimpi indah kita."

Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku pun luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya.

Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami memasuki hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris kami hidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan roti dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam hari kami lalui bersama dengan perut kosong, teman setia kami adalah air keran.

Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalam suatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obati dengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untuk beli buku kami ambil untuk pengganjal perut.

Siang hari, jangan tanya... kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu, terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.

Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh, menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia menangis, itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia malah lebih kasihan kepada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah, tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya gelandangan.

Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang asalnya hidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di rumah kontrakan yang kumuh dan makan ala kadarnya.

Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasa sayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.

Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalah wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta dengan senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua. Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini.

"Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang..." bisiknya mesra sambil tersenyum.

Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.

Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja! Namun, kami belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister pun kami masih hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada istilah makan enak dalam hidup kami.

Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras, kami berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah, merasakan kembali tidur di kasur empuk dan kembali mengenal masakan lezat.

Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua di Heliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang 'edan'. Ia kembali mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program Doktor Spesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:

"Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui, dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar Doktor di London.. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak ada salahnya kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan."

Kucium kening istriku, dan bismillah... kami berangkat ke London. Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelar Doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialis jantung.

Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai direktur rumah sakit, dan istri saya sebagai wakilnya! Kami juga mengajar di Universitas.

Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai dia dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.

Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari 9 tahun hidup menderita, melarat dan sengsara.

Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah swt dan bertambahlan rasa cinta kami.

Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika hadirin sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab Huda Sulthan.. Dialah istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan bisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz..."

Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosok perempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab biru. Perempuan itu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga merekam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai, dan segenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan seksama.
 

 

 


Tuesday 23 June 2009

Pemandangannya Yang Buram, Atau Kacamatanya Yang Harus Diganti?

 

Kacamata. Sebuah frase yang memiliki makna denotatif dan konotatif. Dia bisa berarti sebuah alat untuk membantu memperbaiki daya penglihatan, namun bisa bermakna 'cara kita memandang sesuatu'. Dengan kacamata yang salah, situasi apapun yang kita hadapi; akan dipersepsikan secara negatif. Namun, dengan kacamata yang baik kita selalu mampu menemukan sisi positif dari setiap peristiwa yang kita alami. Bahkan sekalipun peristiwa itu kurang menyenangkan. Benarkah demikian? Benar. Karena kita percaya bahwa setiap peristiwa itu seperti keping mata uang. Terserah; apakah kita memfokuskan sudut pandang pada sisi positif, atau negatifnya?
 
Kacamata ini sudah saya gunakan selama lebih dari tiga tahun. Salah satu alasan mengapa saya tidak ingin menggantinya adalah karena saya merasa nyaman dengannya. Dan, karena setiap hari saya menggunakannya; maka saya tidak menyadari bahwa sesuatu telah terjadi dengan penglihatan ini. Pada awalnya, saya merasakan sakit kepala yang semakin lama semakin sering terjadi. Kemudian, text film di TV terlihat kurang jelas sehingga saya berusaha mengubah-ubah kabel antena. Namun, setelah sekian lama; saya tidak berhasil membuat gambar di TV lebih jelas. Bahkah sekalipun tiang antena diatap rumah sudah diputar-putar kesana-kemari. Jangan-jangan, 'kesalahan bukan pada pesawat televisi....'.
 
Benar saja. Pemeriksaan menunjukkan bahwa kacamata itu tidak lagi cocok dengan kondisi mata saya. Rupanya, itulah yang menyebabkan mengapa pandangan saya tidak lagi jernih. Hari itu, tiba-tiba saya menyadari bahwa selama ini saya sering memandang hidup dalam suasana yang suram. Bahkan, kadang-kadang gelap seperti diselimuti kabut. Jangan-jangan, semua itu terjadi karena saya keliru menggunakan 'kacamata' dalam memandang hidup. Ketika menghadapi kesulitan hidup; kita sering berkeluh kesah, hingga tak jarang kehilangan harapan. Seolah dunia ini nyaris runtuh. Bahkan, ketika prospek yang kita kunjungi mengatakan 'tidak' terhadap produk yang kita tawarkan, kita merasa kesakitan yang tajam didalam hati. Atau, ketika surat lamaran kerja kita tidak kunjung mendapatkan balasan, kita merasa dunia ini tertutup bagi kita. Atau, ketika seorang gadis mengatakan 'maaf, saya belum bisa menerimamu,' kita menganggap itu sebagai sebuah penghinaan. Kita sering
gagal melihatnya dari sisi positif, sehingga batin kita dikuasai oleh kesimpulan dan sikap negatif.   
 
Dengan kacamata yang keliru, bahkan kabar baikpun bisa dipersepsikan secara keliru. Ketika kita mendapatkan promosi jabatan; kita menganggapnya kesempatan untuk menepuk dada. 'Sekarang gue ini boss; elu pade mesti hormat sama gue!' Ketika Tuhan memberikan kelapangan harta, kita melihatnya sebagai kesempatan untuk menunjukkan bahwa derajat kita lebih tinggi dari orang lain yang pada miskin. Ketika dianugerahi keluasan ilmu, kita mengira orang lain bodoh.
 
Petugas optik menyarankan saya untuk mengganti lensa kacamata itu. Lalu saya mengikuti sarannya. Ajaib sekali, sejak saya mengganti lensa kacamata itu, saya tidak lagi mengeluhkan sakit kepala yang selama ini menghantui. Pesawat televisi saya menampilkan gambar yang jelas lagi bersih. Dan saya memandang dunia seolah menampilkan suasana baru yang jauh lebih cerah dari sebelumnya. Hal ini benar dalam pengertian sesungguhnya, maupun dalam konteks metafora. Buktinya, dengan 'kacamata' yang benar kita selalu melihat harapan didalam kesulitan hidup seberat apapun yang kita hadapi. Sebab, kita meyakini bahwa didalam setiap kesulitan, selalu terdapat kemudahan.
 
Ketika seorang pelanggan mengatakan; 'maaf, saya tidak jadi membeli produk anda', tiba-tiba saja kita menyadari bahwa cara pendekatan atau teknik penjualan yang kita gunakan itu masih belum tepat, sehingga kita harus memperbaikinya. Atau, mungkin produk kita tidak lagi memiliki keunggulan sehingga kita menjadi tertantang untuk melakukan inovasi. Tanpa penolakan itu, kita mungkin tidak pernah sampai kepada kesadaran sedalam itu. 
 
Kacamata itu jugalah yang memberi kita kemampuan untuk menerima semua cobaan yang Tuhan berikan sebagai sarana bagi kita untuk 'naik tingkat' dimataNya. Sebab, bukankah para guru spiritual kita selalu mengatakan bahwa; "Jika Tuhan ingin menaikkan derajat seorang hamba, maka Dia akan memberinya sebuah cobaan. Jika hamba itu dapat melalui cobaan itu dengan tulus dan penuh kesadaran, maka tingkat keimanannya akan semakin tinggi."
 
Kita semua tahu, bahwa semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, maka semakin tinggi juga rasa sayang Tuhan kepadanya. Dan semakin sayang Tuhan kepada seseorang, maka semakin besar peluang baginya untuk manjadi pribadi yang lebih baik. Sebab, ketika seorang pribadi yang baik tengah melalui roda kehidupan yang berat; maka dia akan melakukan introspeksi dan memperbaiki diri. Sedangkan, ketika tengah ditaburi oleh berjuta keberhasilan; dia akan menjadi semakin rendah hati. Sebab, dengan kacamata yang baik, dia menyadari bahwa apapun yang terjadi dalam hidupnya; tiada lain selain kesempatan bagi dirinya untuk semakin mendekatkan diri, kepada Sang Pemilik Sejati.
 

Catatan Kaki:
Mungkin sebenarnya masa depan kita itu sangat cerah. Namun, karena kita keliru menggunakan kacamata, kita melihatnya seolah-olah suram dan tanpa harapan.
 

.

__,_._,___

Monday 15 June 2009

Temukan Kuncinya, Lalu buka peti harta karunnya

Pernahkah Anda menyaksikan seseorang yang dapat melakukan sesuatu dengan sangat mudah, padahal Anda sendiri tidak bisa melakukannya? Saya sering begitu.  Misalnya, saya tidak bisa bermain selancar air dipantai, tapi mengapa banyak orang yang bisa melakukannya. Ini hanyalah contoh kecil saja yang membuktikan bahwa ternyata; ada orang-orang yang bisa melakukan sesuatu yang kita anggap sulit. Namun demikian, kita tidak perlu berkecil hati, karena boleh jadi, kita bisa melakukan sesuatu yang menurut orang lain sangat sulit untuk dilakukan. Sehingga, ini semakin menegaskan kenyataan bahwa kita para manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Tetapi, bukankah kadang-kadang kita harus melakukan sesuatu yang sangat sulit itu untuk memenuhi keinginan kita? Buktinya, ada banyak keinginan dan angan-angan yang tidak bisa kita wujudkan. Sehingga kita sering menjadi frustrasi dibuatnya. Lantas, bagaimana kita bisa berkompromi dengannya?
 
Beberapa waktu lalu, saya menjadi sangat pusing karena kehilangan kunci lemari tempat saya menyimpan peralatan dan dokumen untuk mendukung aktivitas harian. Anak saya yang masih sangat kecil memain-mainkan kunci lemari itu sebelumnya, sehingga saya yakin dia menyimpannya disuatu tempat. Sayangnya, sekuat apapun saya berusaha untuk membuatnya ingat atau memberitahu keberadaan kunci-kunci itu; saya tetap gagal total. Padahal tanpa kunci itu, 'saya tidak bisa membuka' lemari itu. Sehingga saya tidak dapat memperoleh apapun yang tersimpan didalamnya.
 
Bayangkan seandainya lemari itu seperti peti harta karun. Tanpa kunci itu, dia tidak bisa dibuka. Bayangkan lemari terkunci itu seperti tempat asing yang berisi angan-angan yang kita inginkan. Tanpa kunci itu, kita tidak dapat meraih isinya. Lalu, kita mengatakan;  "betapa sulitnya mewujudkan keinginan ini....." Mungkin kita berpikir untuk membongkar paksa pintu lemari itu dengan menggunakan gergaji atau kampak. Jika isi lemari itu sedemikian pentingnya, mengapa mesti pusing dengan lemarinya? Hancurkan saja. Masalahnya, kita tidak tahu bagaimana menghancurkan 'lemari kehidupan' yang menyimpan semua impian kita. Karena, tidak ada cara lain untuk meraih isinya kecuali dengan kunci untuk membuka pintunya.
 
Dilaci meja kerja saya ada seuntai kunci. Saya tahu bahwa kunci lemari yang menghilang itu tidak termasuk salah satunya. Namun, rasa putus asa mendorong saya untuk mencoba semua kunci itu. Dan tentu saja gagal. Persis seperti hidup kita. Untuk meraih apa yang kita inginkan itu ada kuncinya. Dan kunci itu sangat spesifik sehingga kita tidak bisa menggunakan sembarang kunci untuk membukanya. Mungkin, itulah penyebabnya mengapa segala usaha dan daya upaya yang kita lakukan selama ini tidak kunjung memberikan hasil yang diharapkan. Mungkin karena kita belum melakukannya dengan 'kunci' yang tepat. Sehingga, sekeras apapun usaha yang kita lakukan, kita masih gagal maning, dan kemudian gagal maning.
 
Siang sudah berganti malam. Dan anak saya belum juga membocorkan rahasia tentang kunci itu. Sementara saya sudah semakin putus asa karena kunci itu tidak ada di kotak mainannya, tidak pula di celengan, ataupun tempat paling tersembunyi di rumah pondokan kami. Lalu, saya menyerah dihadapan anak kecil yang sekarang sudah tertidur pulas tanpa beban itu. Karenanya, saya memutuskan untuk rehat barang sesaat. Sebab, tidak mungkin membangunkan anak kecil hanya untuk memaksanya mengingat 'dimana dia menyimpan kunci lemari ayahnya'. Mungkin, ini saat yang tepat bagi saya untuk beristirahat setelah menjalani hari yang penat, agar besok bisa meneruskan pencarian itu dengan penuh semangat. Duh, kehidupan kita juga sering begitu. Kita sedang membutuhkan kunci yang mampu memberi akses untuk masuk atau menemukan sebuah jalan keluar. Namun, kunci itu sering tersembunyi entah dimana. Mungkin, ini saat yang tepat bagi kita untuk jeda sesaat, tanpa kehilangan hasrat
untuk meneruskan perjuangan ini esok hari.
 
Esoknya pagi-pagi sekali, saya menanti si kecil untuk bangun dengan penuh harap. Dan begitu dia menggeliat; saya memeluknya sambil bertanya;'kunci lemari ayah pergi kemana ya?'  Lalu, dia menjawab;"Sudah basah....."
 
"Sudah basah?" saya benar-benar menjadi orang pilon. "Kamu ngompol ya?" ternyata celananya tidak basah. "Apanya yang sudah basah?" Saya bertanya dalam harapan dan kebodohan.
 
"Kuncinya sudah basah," katanya.
Hah?! Kuncinya sudah basah?  Apa maksudnya? Apakah kunci lemari saya dicemplungkan kedalam sumur? Atau masuk kedalam mangkuk sayur ibunya? Atau..... ah, lebih baik ditanya saja. "Basah kenapa?"
 
"Sudah kecebur kolam...."  Glek, kunci lemari saya kecebur kolam.... Tapi kolam yang mana? Akhirnya dengan putus asa saya memintanya menunjukkan tempat 'keceburnya' kunci lemari itu. Lalu dia menuntun tangan saya, menuju kehalaman depan. Kemudian, dia menunjuk vas bunga berisi tanaman air kami. "Dikolam itu," katanya. Dan saya benar-benar menemukannya disana. Dengan kunci itu, saya bisa membuka lemari dengan teramat mudah. Lalu, saya mendapatkan semua benda yang saya butuhkan.
 
Jangan-jangan, hidup kita juga seperti itu ya. Setelah semua usaha yang kita lakukan selalu membawa kegagalan; mungkin yang kita perlukan adalah 'menemukan kuncinya'. Sehingga dengan kunci itu kita bisa membuka ruang rahasia dimana keberhasilan kita tersimpan. Sedangkan anak kecil itu bagaikan malaikat yang ditugaskan Tuhan untuk menyimpan kunci-kunci kehidupan yang kita butuhkan. Malaikat itu tidak memberi kita kunci sampai kita telah benar-benar mengerahkan segala kemampuan dan daya upaya yang kita miliki. Dan ketika kita sudah mengerahkan seluruh kemampuan itu hingga titik paling akhir, barulah dia memberi tahu kita kuncinya. Dan kunci itu, sering berupa 'pengetahuan' mengenai bagaimana membuka ruang tertutup dinding yang membatasi kita dengan keberhasilan.
 
Adalah tugas malaikat untuk menjaga kunci-kunci itu. Dan adalah tugas kita untuk menunjukkan kesungguhan dan dedikasi agar dipercaya untuk mendapatkannya. Sehingga, ketika Sang Pembuat Keputusan mengetahui bahwa kita bersungguh-sungguh; Dia Yang Maha Sempurna kemudian bersabda kepada para malaikat;"Aku sudah melihat kesungguhannya. Maka bantulah dia, dan berikan kunci-kunci itu kepadanya."
Semoga
 
Catatan Kaki:
Mungkin yang sesungguhnya kita alami itu bukanlah kegagalan, melainkan bertambahnya pengetahuan; untuk menemukan kunci keberhasilan, atas apa yang kita cita-citakan.

Wednesday 10 June 2009

Jendela Rumah Sakit

Dua orang pria,keduanya menderita sakit keras,sedang dirawat disebuah kamar
rumah sakit. Seorang diantaranya menderita suatu penyakit yang mengharuskan
duduk ditempat tidur selama satu jam disetiap sore untuk mengosongkan cairan
dari paru-parunya. Kebetulan,tempat tidurnya berada tepat disisi jendela
satu-satunya yang ada dikamar itu.
Sedangkan pria yang lain harus berbaring lurus diatas punggungnya. Setiap
sore,ketika pria yang tempat tidurnya berada dekat jendela diperbolehkan
untuk duduk,ia menceritakan tentang apa yang terlihat diluar jendela kepada
rekan sekamarnya.Selama satu jam itulah,pria kedua merasa segitu senang dan
bergairah membayangkan betapa luas dan indahnya semua kegiatan dan
warna-warna indah yang ada diluar sana.
"Diluar jendela,tampak sebuah taman dengan kolam yang indah. Itik dan angsa
berenang-renang cantik, sedangkan anak-anak bermain dengan perahu mainan.
Beberapa pasangan berjalan bergandengan ditengah taman yang
dipenuhi dengan berbagai macam bunga berwarnakan pelangi. Sebuah pohon tua
besar menghiasi taman itu. Jauh diatas sana terlihat kaki langit kota yang
mempesona. Suatu senja yang indah."
Pria pertama itu menceritakan keadaan diluar jendela dengan detail,sedangkan
pria yang lain berbaring memejamkan mata membayangkan semua keindahan
pemandangan itu. Perasaannya menjadi lebih tenang, dalam
menjalani kesehariannya dirumah sakit itu. Semangat hidupnya menjadi lebih
kuat,percaya dirinya bertambah.
Pada suatu sore yang lain, pria yang duduk didekat jkendela menceritakan
tentang parade karnaval yang sedang melintas. Mesti pria yang kedua tidak
dapat mendengar suara parade itu,namun ia dapat melihatnya melalui
pandangan mata pria yang pertama yang menggambarkan semua itu dengan
kata-kata indah.
Begitulah seterusnya,dari hari ke hari. Dan, satu minggu pun berlallu. Suatu
pagi, perawat datang membawa sebaskom air hangat untuk mandi. Ia mendapati
ternyata pria yang berbaring dekat jendela itu telah meninggal
dunia dengan tenang dalam tidurnya. Perawat itu menjadi sedih lalu memanggil
perawat yang lain untuk memindahkan keruang jenazah. Kemudian pria yang
kedua ini meminta pada perawat agar bisa dipindahkan ketempat
tidur didekat jendela itu. Perawat itu menuruti kemauanya dengan senang hati
dan mempersiapkan segala sesuatunya.Ketika semuanya selesai, ia meninggalkan
pria tadi seorang diri didalam kamar.

Dengan perlahan dan kesakitan,pria ini memaksakan dirinya untuk bangun. Ia
ingin sekali melihat keindahan dunia luar melalui jendela itu. Hatinya
tegang,perlahan ia menjenggukan kepalanya ke jendela di samping
tempat tidurnya. Apa yang dilihatnya? Ternyata,jendela itu menghadap ke
sebuah TEMBOK KOSONG!!!

Ia berseru memanggil perawat dan menanyakan apa yang membuat teman pria yang
sudah wafat tadi bercerita seolah-olah elihat semua pemandangan yang luar
biasa indah dibalik jendela itu. Perawat itu menjawab bahwa
sesungguhnya pria tadi adalah seorang yang buta bahkan tidak bisa melihat
tembok sekalipun.

"Barangkali ia ingin memberimu semangat hidup" kata perawat itu.

Tuesday 9 June 2009

Sesama Bis Kota Dilarang Saling Mendahului"

 

Sesama Bis Kota Dilarang Saling Mendahului

"Sesama Bis Kota, Dilarang Saling Mendahului". Anda pernah mendengar kalimat itu? Mungkin pada awalnya kalimat itu dibuat untuk mengingatkan para sopir bis kota supaya tidak ngebut atau balap-balapan dengan bis kota yang lainnya. Sehingga, kalimat itu jelas tertulis dikaca belakang setiap bis kota. Lama kelamaan, kalimat itu menjadi begitu populer seolah ingin mengingatkan kita supaya tetap menjaga norma dan etika ketika sedang bersaing. Semakin tinggi tingkat persaingan, semakin besar peluang untuk saling menyerang. Bahkan, tak jarang kita saling menjatuhkan.

Persaingan tidak hanya terjadi untuk memperebutkan kursi kepresidenan. Melainkan juga pada semua sektor kehidupan. Persaingan bisnis, terjadi setiap hari. Persaingan dengan teman dikantor, seolah tidak kenal henti. Bahkan persaingan untuk memperebutkan seorang pacar, bukan peristiwa yang langka. Pendek kata, kita seolah hidup dalam lingkungan yang penuh dengan persaingan. Sampai-sampai, ada orang yang berkeyakinan; "kalau hidup tidak mau bersaing, maka kita bakal tersingkirkan.". Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kita sering menemukan orang melakukan apa saja untuk memenangkan persaingan.

Dikantor, persaingan sering melahirkan hubungan yang tidak harmonis diantara karyawan yang satu dengan karyawan yang lain. Bahkan, antara bos di divisi yang satu dengan bos di divisi yang lain. Akhirnya, anak buah mereka juga mau tidak mau ikut terlibat didalam persaingan tidak sehat itu. Walhasil, hubungan diantara kedua divisi tidak pernah berjalan mulus. Ada saja kata-kata sindiran, memojokkan atau usaha-usaha penjegalan satu sama lain. Meskipun mereka bertemu setiap hari, mereka enggan untuk sekedar saling bertegur sapa.

Tetapi, apakah persaingan selalu berdampak seburuk itu? Tidak juga. Persaingan yang sehat bersifat positif. Bahkan, orang-orang yang bersaing secara sehat dapat mengambil manfaat dari proses persaingan itu. Sebab, persaingan yang sehat memiliki beberapa ciri unik yang semuanya bermotif positif. Ciri-ciri itu antara lain;
Pertama, orang-orang yang bersaing saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
Kedua, orang-orang yang bersaing memiliki pertalian batin dan hubungan pribadi yang baik.
Ketiga, orang-orang yang bersaing menerima dengan legowo kemenangan temannya.
Keempat, orang yang kalah bersaing mendedikasikan sumberdaya yang dimilikinya untuk mendukung kemenangan temannya.
Kelima, orang yang menang bersaing menjaga perasaan dan merangkul temannya yang kalah untuk berbagi kemenangan dengannya.

Sedangkan persaingan yang didasari oleh rasa iri dan keserakahan justru menyebabkan perpecahan dan suasana yang merugikan bagi perusahaan. Sebab, orang-orang yang dirinya diliputi oleh keserakahan selalu ingin menguasai segala hal indah sendirian. Orang semacam ini, tidak akan puas oleh jabatan atau penghasilan yang mereka dapatkan. Selama masih ada orang lain yang lebih dari dirinya, dia akan terus berusaha mengalahkannya. Perasaan iri, sama berbahayanya. Orang-orang yang memelihara rasa iri tidak pernah senang melihat keberhasilan orang lain. Sehingga dia melakukan cara apapun untuk menjatuhkan.

Namun, mengapa hanya 'sesama bis kota' yang dilarang saling mendahului? Apakah bis kota boleh 'mendahului angkot', misalnya? Didalam konteks kehidupan manusia, ternyata memang persaingan tidak sehat itu terjadi diantara orang-orang yang berada dalam 'satu komunitas' atau 'satu profesi'. Misalnya, karyawan iri kepada sesama karyawan. Mereka tidak iri kepada pedagang di pasar. Sebaliknya, pedagang di pasar, iri pada temannya sesama pemilik kios di pasar. Artis iri kepada artis. Pelajar iri kepada pelajar. Trainer, iri kepada trainer. Teman iri kepada teman. Dan sebagainya. Kemudian, dari perasaan iri itu muncullah sifat antipati. Dan ketika seseorang memiliki sikap antipati, maka pasti dia tidak akan pernah bersedia untuk mengulurkan tangan dengan tulus ketika temannya membutuhkan bantuan. Padahal bukankah Tuhan menciptakan kita untuk saling menolong satu sama lain? Jika demikian, mungkin sudah saatnya bagi kita untuk mengikis habis semua perasaan iri yang masih tersisa didalam hati.

Catatan Kaki:
Ketika kita memudahkan jalan seseorang, mungkin dia lupa atas semua kontribusi yang pernah kita berikan. Namun, Tuhan tidak pernah keliru menghitung. Sebab, setiap amal perbuatan; akan diacatat dengan cermat. 

.

__,_._,___

Monday 1 June 2009

Ternyata, Ikhlas itu memiliki saudara kembar

Ternyata, Ikhlas Itu Memiliki Saudara Kembar

Kita sering mendengar kata `ikhlas' diucapkan orang. Misalnya, sang dermawan berkata; "Saya menyerahkan sumbangan ini dengan ihklas". Anehnya, dia mengharapkan sang penerima derma untuk mencoblos tanda gambar dalam pemilihan ketua RT minggu depan. Dia merasa kesal ketika ternyata hasil perhitungan suara lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah orang yang menerima derma darinya. Kita memang gemar membawa-bawa kata ikhlas ketika melakukan sesuatu untuk orang lain. Tapi, hati kecil kita begitu mudahnya menggugat hanya karena orang yang kita tolong itu sama sekali tidak mengucapkan terimakasih. Dan diam-diam kita mencap orang itu sebagai `orang yang tidak tahu terimakasih'. Sebongkah kedongkolan ditambah dengan perasaan tidak dihormati cukup menjadikan kita kapok untuk menolongnya lagi dikemudian hari.

Beberapa waktu yang lalu, ada kejadian aneh didaerah kami. Jalan menuju ke pemukiman kami sudah pada berlubang. Ketika saya melintas pagi itu, lubang-lubang itu masih bercokol disitu. Tetapi, disore hari saat saya pulang; jalan itu sudah berubah menjadi mulus. Dimalam harinya, salah satu tokoh masyarakat kami mengaku menangis menyaksikan kejadian itu. Dia menangis karena ada orang yang tanpa ketahuan identitasnya telah memperbaiki jalan umum itu. Padahal, para pengurus RT/RW yang saling bertetangga sudah sejak lama berembuk mengenai perbaikan jalan, tanpa keputusan yang berarti. Kerumitan masalahnya ada pada ketidaksepakatan mengenai berapa uang yang harus disumbangkan oleh setiap rumah. Apakah para pensiunan harus membayar sejumlah yang sama? Apakah tidak sebaiknya orang yang mempunyai mobil lebih dari satu membayar iuran berlipat ganda? Dan seribu satu `apakah' lainnya. Tapi, hari itu; jalan itu mulus hanya dalam beberapa jam saja. Semetara itu, tak seorangpun tahu siapa `dermawannya'.

Pak tokoh masyarakat itu menangis karena disadarkan tentang betapa dirinya belum memiliki keikhlasan seperti orang itu. Dan pada malam itu, kami yang tengah berkumpul diforum itu diingatkan juga bahwa; betapa keikhlasan itu merupakan rahasia antara seseorang dengan Tuhannya. Karena, tidak ada yang mengetahui apakah kita sungguh-sungguh ikhlas atau sekedar berpura-pura ikhlas; kecuali diri kita sendiri dan Sang Maha Mengetahui isi hati manusia. Seperti halnya kita tidak bisa membohongi hati sendiri, kita tidak bisa menyembunyikan sesuatu pun dihadapan Dia. Mulut kita bisa mengatakan `saya ikhlas'. Tapi, jika sesungguhnya kita tidak benar-benar ikhlas, maka hati kita dan Dia; tahu segalanya.

Ketika kita sungguh-sungguh ikhlas, maka mulut tidak lagi tertarik untuk mengatakannya. Mendingan mesam-mesem saja. Jika ikhlas, kita tidak lagi pusing apakah seseorang berterimakasih atau tidak. Jika ikhlas, tidak penting lagi apakah nama kita diumumkan atau tidak. Jika ikhlas, yang kita harapkan adalah penerimaan Tuhan atas apa yang kita lakukan, bukan penilaian manusia. Dan jika demikian, mengapa orang lain harus tahu apakah kita ini ikhlas atau tidak?

Namun, kadang-kadang kita menganggap bahwa ikhlas itu berarti tidak mengharapkan imbalan apapun. Meskipun pada kenyataannya kita ikhlas bekerja sehari-hari hanya jika digaji. Kalau kita tidak digaji, mana bisa ikhlas bekerja seperti ini? Persis seperti jawaban yang disampaikan oleh seorang murid ketika Sang Guru bertanya;"Menurut pendapatmu, ikhlas itu apa?" Kata si Murid; "Ikhlas berarti kita melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan atas apa yang kita lakukan."

"Seperti apa misalnya?" lanjut Sang Guru.
"Maaf, guru." jawab si Murid."Seperti ketika Guru buang hajat," lanjutnya. "Setelah semua urusan Guru di toilet selesai, Guru tidak pernah ingin lagi melihat kedalamnya. Guru langsung membilasnya. Dan guru tidak ingin mengingat-ingatnya."

"Oh, begitu ya?" kata Sang Guru sambil manggut-manggut. Si Murid yang merasa dirinya telah memberikan jawaban sempurna berbangga hati. "Kalau begitu," lanjut Sang Guru. "Didunia ini tidak akan ada satupun manusia yang benar-benar ikhlas." Sekarang sang Murid terperanjat.

Seperti mengerti kegundahan dihati muridnya, Sang Guru melanjutkan. "Menurut pendapatku, ikhlas itu berarti menerima hukum Tuhan apa adanya. Dengan kata lain, bersedia menerima apapun yang digariskan Tuhan untuk mengatur alam semesta ini." Agak geli mendengar nasihat Sang Guru, si Murid berkata; "Guru, itu adalah arti kata taát. Bukan ikhlas."

"Benar sekali," kata Sang Guru. "Karena, keikhlasan itu saudara kembar dari ketaatan." Seperti Wiro Sableng murid Sinto Gendheng, sang Murid garuk-garuk kepala ketika Sang Guru berujar; "Orang-orang yang taát, secara tulus ikhlas menerima hukum Tuhan apapun adanya itu." Lalu Sang Guru menjelaskan bahwa tidak termasuk taát orang-orang yang menolak keputusan Tuhan. Misalnya, Tuhan sudah memutuskan bahwa `setiap' perbuatan ada imbalannya. Perbuatan buruk imbalannya keburukan juga. Itu yang kemudian kita sebut sebagai dosa. Sedangkan perbuatan baik imbalannya kebaikan juga. Yang biasa kita sebut sebagai pahala. Tidak ada perbuatan manusia yang luput dari
pengamatan Sang Maha Melihat. Dia mencatat dengan seksama, dan menghisabkan perhitungan sesuai dengan baik atau buruk perbuatannya. Itu adalah hukum yang dibuat oleh Tuhan. Dan, seorang hamba yang ikhlas pasti mentaáti hukum itu. Sehingga, dia sungguh takut berbuat keburukan karena imbalannya yang berupa keburukan pula itu. Sebaliknya dia begitu bersemangat dalam berbuat kebajikan, karena dia sungguh merindukan kebaikan dari sisi Tuhannya.

"Guru," kata si Murid. "Bukankah lebih baik jika kita tidak mengharapkan imbalan dari Tuhan?" Sang Guru menjawab:"Itu betul," katanya. "Jika, kamu benar-benar tidak mengharapkan imbalan dari Tuhanmu." lanjutnya. "Tapi, jika tidak, maka Tuhan tetap tahu apa yang terucap dihatimu." Setelah itu, Sang Guru mengatakan bahwa Tuhan itu sangat senang jika hamba-hambanya yang baik menggantungkan beribu harapan kepadaNya. Itulah mengapa Dia menyebut dirinya sendiri sebagai Sang Tempat Menggantungkan Harapan. Seorang hamba yang yakin dan takut saat berbuat keburukan, namun penuh harap dengan banyak-banyak berbuat kebajikan disebut sebagai hamba yang tawazun. Artinya, seimbang. Dia tidak berat sebelah. Dia tidak hanya yakin bahwa Tuhan akan membalas keburukan dengan keburukan. Melainkan juga yakin bahwa kebaikan akan berbalas kebaikan disisiNya. Dan sungguh, katanya;
Tuhan sangat menyukai orang-orang yang seperti itu. Maukah kita membuat Tuhan suka?

Catatan Kaki:
Kita, tidak pernah bisa terbebas dari hukum alam barang sedetikpun.
Jadi, menyerah saja kepadanya.